Pengantar
Tanggal 20 dan 27 Desember 2012 lalu, saya
sedang mendampingi klien selaku Terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Klien saya didakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi secara bersama-sama dengan beberapa orang karyawan dari salah
satu Kontraktor Migas terkemuka di Indonesia. Saya disini tidak sedang bermaksud
menceritakan tentang pembelaan saya terhadap posisi klien dimaksud, meskipun
hati nurani saya hingga kini masih bertanya-tanya tentang bagaimana sesungguhnya
legal reasoning Penyidik dan Penuntut
Umum dari Kejaksaan Agung R.I itu memutuskan untuk sampai mengajukan surat
dakwaan sedemikian kepada klien saya di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, sementara locus delicti perkara
(quad non benar-benar terjadi) itu
jelas-jelas berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Lupakan hal itu, saya disini justru
hendak menceritakan tentang percakapan yang umumnya terjadi di luar ruang sidang
baik oleh para penasehat hukum, terdakwa, maupun pengunjung sidang disela-sela menunggu
giliran sidang. Saat itu, saya berbincang-bincang dengan dua orang karyawan
dari Kontraktor Migas tersebut yang juga didakwa bersama-sama telah melakukan
tindak pidana korupsi dengan sang klien. Keduanya bertanya kepada saya tentang
berbagai kemungkinan tanggapan hakim atas surat dakwaan JPU dimaksud.
Pada perbincangan itu saya spontan mengatakan
kepada keduanya, kita harus tetap berdoa dan berusaha semaksimal mungkin pada
proses hukum yang ada semoga Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara
ini antara otaknya (pikiran) dengan
hatinya (nurani) sejalan dan nyambung. Karena sudah menjadi kenyataan
umum di negeri ini banyak hakim yang tidak sejalan dan nyambung antara otak dan hatinya. Sambil saya menunjuk kepala dan
dada.
Keduanya hanya mengangguk, tetapi
tiba-tiba seorang Bapak paruh baya berpakaian batik menghampiri kami bertiga
dengan langsung bertanya “siapa yang
saudara maksud dengan hakim yang tidak nyambung?”. Saya yang tidak setuju
dengan cara Bapak ini langsung bereaksi “ini
pembicaraan kami bertiga pak, Bapak siapa dan ada urusan apa Bapak turut
campur?, dengan nada kesal. Si Bapak menjawab “saya hakim disini (Tipikor-pen), saya cuman mau bilang hakim-hakim
disini bekerja menurut hukum berbeda dengan pengadilan lain, kalau saudara mau
melihat bagaimana saya memutus suatu perkara silahkan datang ke rumah saya”.
Saya jawab “terimakasih kalau begitu pak,
saya pegang janji Bapak” sambil saya menyodorkan tangan untuk menyalaminya. Tetapi si Bapak menolak “saya tidak perlu salaman dengan saudara, tetapi saya jamin kami bekerja
sesuai dengan fakta dan hukum sepanjang terdakwa disini mengungkapkan kejujuran”.
Si Bapak pergi, kami bertiga saling berpandangan dengan perasaan bercampur aduk
melihat keberanian si Bapak menjelaskan dirinya dengan menyela pembicaraan
kami.
Kejadian itu masih segar di ingatan
saya sehingga ingin sekali pada kesempatan ini berbagi cerita dan pengetahuan
tentang apa dan bagaimana seharusnya impian dan harapan para pencari keadilan
terhadap bagaimana seharusnya independensi dan kemandirian seorang hakim dalam
sebuah penegakan hukum ?.
Hakim
Dalam Penegakan Hukum
Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), begitu bunyi Pasal 1 Ayat
(3) UUD 1945 Amandemen Ketiga. Sepatutnya pengertian negara hukum dimaksud
diartikan secara dinamis baik dalam tataran sistem hukum eropa kontinental semacam
Indonesia maupun sistem hukum Anglo Saxon. Memang sebagian ahli berpendapat
konsep negara hukum itu cenderung lebih dekat pada sistem kontinental karena
mengusung konsep Supremacy of General Law
daripada sistem Anglo Saxon yang menekankan pada asas stare decisis yang memungkinkan hakim untuk membentuk hukum (judge made law).
Namun demikian pandangan ini sudah
berubah, hukum tidak lagi semata-mata difungsikan sebagai refleksi kekuasaan
yang berdaulat, tetapi harus pula dipertanyakan hakekat dan substansi hukum
tersebut. Karena itu menurut Hoogers dan Warmelink sebenarnya patut
memfungsikan hakim sebagai deputy
legislators atau pseudo legislators.
Goldstein, menerangkan setidaknya ada
3 (tiga) konsep kedudukan hakim dalam
penegakan hukum (law enforcement). Pertama, dalam kerangka total enforcement concept, dimana hakim
diharapkan menegakkan hukum secara menyeluruh baik norma maupun nilai yang
terkandung didalamnya. Hal ini sulit dilakukan karena dalam menjalankan hukum
itu sendiri terdapat kerangka due process
of law sehingga terdapat pembatasan lain seperti penerapan Hukum Acara. Kedua, full enforcement concept yaitu terhadap
sisi-sisi yang masih grey area hakim
memberikan diskresinya atas berbagai keterbatasan substansi hukum, struktur
hukum maupun budaya hukum. Ketiga,
adalah actual enforcement concept.
Oleh karena itulah kekuasaan kehakiman
itu tidak hanya mengandung pengertian otoritas
hukum tetapi juga kewajiban hukum yang
merupakan kekuasaan yang melekat pada hakim dan pengadilan untuk melaksanakan
fungsi pemerintahan berupa mengadili dan memutus (adjudication).
Hakim
Independen dan Mandiri
Ternyata hakim yang baik itu tidak
hanya cukup dengan bekal tekad untuk bisa mempertahankan kemandirian (independensi), tetapi memerlukan sikap
dan karakter lain yaitu akuntabilitas dan profesionalisme. Sebagaimana peristiwa
percakapan saya dengan sang hakim pada bagian pengantar di atas, sesunguhnya
ancaman terhadap independensi dan kemandirian hakim itu saat ini sangat nyata
baik dari internal maupun eksternal.
Dari sisi internal misalnya berasal dari
otoritas yang memiliki kewenangan untuk melakukan promosi, mutasi dan tindakan
disiplin. Sementara dari sisi eksternal dapat berasal dari kekuasaan legislatif,
eksekutif, pers, masyarakat (public
pressure) maupun dari para pencari keadilan baik dalam bentuk kekerasan,
ancaman kekerasan hingga penyuapan.
Inilah yang Penulis khawatirkan
terkait persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadian Negeri
Jakarta Pusat, karena beredar kesan yang semakin menguat melalui media pers bahwa
pengadilan ini tidak pernah membebaskan seorang Terdakwa kasus korupsi. Kekhawatiran
ini sebenarnya lebih kepada kondisi dimana jangan sampai hakim menjadi
tersandera untuk harus menghukum seseorang, padahal dakwaan korupsinya tidak
terbukti atau setidak-tidaknya ada hukum acara yang dilanggar hanya demi
mempertahankan persepsi publik tersebut.
Penutup
Ada beberapa hakim yang dikenal baik
di Indonesia, tetapi agaknya penulis ingin mengambil contoh figur hakim
sebagaimana dimuat dalam salah satu buku Richard A. Posner berjudul Cardozo, A Study in Reputation. Richard
A. Posner sendiri adalah hakim senior pada Seventh
Circuit, US Court of Appeals dan menjadi seorang dosen di University of
Chicago Law School, Amerika Serikat.
Posner menggambarkan paling tidak ada
6 (enam) hal yang menonjol pada diri
Hakim Senior yang bernama Benyamin Nathan Cardozo dimaksud. Pertama, Cardozo memiliki kemampuan
retorika (rhetorical skill) yang baik.
Tidak hanya karena gaya penulisannya melainkan karena bangunan (architecture) dari pendapatnya yang
mempesona dari sisi kesusasteraan dan essay, sehingga dapat membawa hukum lebih
dekat pada perasaan keadilan bagi siapa saja termasuk mereka yang bukan sarjana
hukum.
Kedua, kemampuan retorika tersebut bermakna
positif dari sisi pragmatis, karena pendapatnya tidak hanya bisa diterima di
lingkungan peradilan melainkan oleh segenap masyarakat hukum karena bersifat
realistis, anti formalism dan bersifat instrumental. Ketiga, Cardozo memiliki karya tulis yang bersifat extralegal sehingga menaikkan derajat
profesionalitas hukumnya. Keempat,
Cardozo manusia yang atraktif, dimana karakter menjadi sangat penting dalam
kaitannya dengan integritas dan sifat dapat dipercaya (trustworthiness). Karakter semacam ini penting dalam suatu reputasi
juridis karena pekerjaan seorang hakim secara tak terelakkan akan banyak
bertumpu pada keyakinan (inevitably take
much on faith). Kelima, Cardozo
mendayagunakan pandangan-pandangan hukum dari dunia akademis sebagai referensi
(scholarly citations) jauh lebih
banyak daripada yang dilakukan kolega-koleganya. Keenam, Cardozo tidak pernah terlibat sebagai partisan politik,
namun pencalonannya selalu didukung oleh partai-partai politik yang dominan.
Tentu tidak dapat dipersamakan sosok
Cardozo dengan hakim-hakim di Indonesia, tetapi saya masih yakin bahwa diantara
hakim-hakim yang kita punya masih terdapat hakim yang benar-benar bekerja
secara bertanggung jawab selaku wakil Tuhan dimuka bumi. Mungkin, sang Hakim
yang menyela perbincangan kami salah satunya, amien.
2 comments:
Di wall fbnya bang hary izmir,https://m.facebook.com/hary.vidianto?refid=5, ada hadis yg relevan dengan artikel di atas : NASIB HAKIM DI AKHIRAT KELAK
"Hakim terdiri dari tiga golongan. Dua golongan hakim masuk neraka dan segolongan hakim lagi masuk surga. Yang masuk surga ialah yang mengetahui kebenaran hukum dan mengadili dengan hukum tersebut. Bila seorang hakim mengetahui yang haq tapi tidak mengadili dengan hukum tersebut, bahkan bertindak zalim dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Yang segolongan lagi hakim yang bodoh, yang tidak mengetahui yang haq dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, maka dia juga masuk neraka."
(HR. Abu Dawud dan Ath-Thahawi)
Hi Mr. Tanjung, Remember me? Mr. Nurman learns to tickle your fancy? Your blog is cool. And it's not bad with pr 1. Let' s go blogwalking and learn more and more of how to optimize blog. Keep in touch.
Post a Comment