Diskriminasi harga diatur dalam Pasal 6 UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama”.
Berdasarkan isi Pasal di atas, maka ada dua unsur pokok, yaitu:
- Adanya perjanjian
Secara harafiah, ketentuan Pasal 6 UU No. 5/1999 adalah mengenai diskriminasi harga yang disepakati untuk pembeli terhadap suatu barang atau jasa. Dalam hal ini, pihak yang diuntungkan melalui perjanjian tersebut adalah para pesaing dari pembeli. Pihak yang diuntungkan dan pelaku usaha yang didiskriminasikan harus berada dalam hubungan persaingan usaha secara aktual atau potensial.
Diskriminasi selalu berdasarkan prinsip bahwa sesuatu yang diperbandingkan diperlakukan secara tidak sama. Untuk barang dan/atau jasa yang sama ditagih harga yang berbeda. Dalam perjanjian diskriminasi harga, berbagai pembeli membayar harga, yang tidak sama untuk barang dan/atau jasa yang sama.
Oleh karena itu dapat diketahui bahwa kriteria diskriminasi adalah selalu mensyaratkan perlakuan tidak sama terhadap dua pembeli atau penjual oleh pelaku usaha. Pelaku usaha yang mendiskriminasikan harus berada pada posisi yang menguntungkan dalam persaingan, karena sebaliknya tidak membiarkan ada kerugian persaingan. Tidak ada peraturan yang menentukan secara mutlak bahwa pelaku usaha harus memperlakukan pemasok atau pembeli dengan cara yang sama. Diskriminasi baru dianggap sebagai persaingan usaha tidak sehat apabila pelaku usaha tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan menangani kondisi yang sama dengan cara yang berbeda.
Diskriminasi setidaknya dapat mempunyai dua akibat yang mengganggu persaingan, yaitu:
- Penjual yang menguasai pasar dapat mendesak pesaing-pesaingnya dari pasar melalui strategi diskriminasi, dimana dia lebih mementingkan pembeli tertentu dan dengan demikian jalur-jalur pasokan diblokir;
Diskriminasi harga
Pada dasarnya dalam suatu sistem persaingan usaha yang bebas, harga dapat dirundingkan secara bebas pula, karena justru aspek tersebut yang merupakan inti dari harga (Pasal 1 Angka 14 UU No. 5/1999). Tidak ada kewajiban umum bagi pelaku usaha untuk menetapkan harga yang sama untuk semua pihak, dan kewajiban tersebut tidak dapat disimpulkan dari Pasal 6 UU No. 5/1999.
Diskriminasi harga dapat terjadi apabila pelaku usaha tanpa alasan khusus menuntut pemasok atau pembeli membayar harga yang berbeda-beda untuk barang atau jasa yang sama. Di seluruh dunia dikenal "sistem bonus" atau "diskon kesetiaan". Secara per se, sistem bonus tersebut sebenamya tidak mengganggu persaingan usaha. Perlu dilihat kasus per kasus, apakah ada unsur dalam sistem tersebut yang berpeluang menciptakan hambatan masuk ke pasar. Hal ini misalnya terjadi apabila jalur penjualan pesaing macet karena diskon tersebut diberlakukan untuk jangka panjang dan dilakukan oleh pelaku usaha yang kuat di pasar. Diskon kesetiaan menghadiahkan pembeli, kalau dia membeli kebutuhan tertentu hanya pada pelaku usaha tertentu. Potongan harga seperti ini dapat menjadi suatu hambatan, kalau jalur pasokan pesaing ditutup oleh yang memberi potongan harga.
Sebaliknya diskon jumlah dapat diizinkan, kalau diskon tersebut sungguh-sungguh akibat dari penghematan biaya oleh penjual. Diskon tujuan adalah diskriminasi tidak jujur yang teratur, karena pelaku usaha tertentu mencapai nilai penjualan tertentu, yang dijamin secara eksklusif.
Analisis Hukum Atas Pasal 6 UU No. 5/1999
Ketentuan Pasal 6 UU No. 5/1999 melarang diskriminasi harga yang disepakati oleh pemasok untuk merugikan masing-masing pembeli. Bagi pihak yang terkena diskriminasi, diskriminasi harga menyebabkan kerugian besar, dimana Pihak pemasok melalui strategi seperti itu dapat memaksa pembeli yang terkena diskriminasi tersebut menjadi tersingkir dari pasar, karena harus membayar harga yang membuat ia tidak dapat bersaing lagi dengan pesaing usaha lain. Ketentuan ini juga melindungi pembeli yang menerima pukulan terberat dari adanya diskriminasi. Pasal 6 UU No. 5/1999 perlu diinterpretasi secara sistematis melalui perbandingan dengan unsur-unsur larangan lain yang termuat dalam Pasal 5 dan 7 UU No. 5/1999.
Ketentuan Pasal 6 UU No. 5/1999 mencakup perjanjian, baik antara pesaing-pesaing yang aktual maupun antara pesaing-pesaing yang potensial, juga kartel klasik, sebagai perjanjian dalam suatu hubungan vertikal antara pemasok dan pembelinya. Tetapi apabila dua pesaing usaha sepakat bahwa mereka akan memperlakukan pembeli tertentu berbeda berkaitan dengan harga, maka yang dapat diterapkan adalah Pasal 5 ayat (1), bukan Pasal 6 UU No. 5/1999, karena kondisi ini dalam hubungan horizontal. Sementara Pasal 6 UU No. 5/1999 didasarkan pada diskriminasi harga yang disepakati dalam hubungan yang vertikal, yaitu perjanjian-perjanjian antara produsen dan agen.
Sehubungan dengan penerapan Pasal 6 UU No. 5/1999 harus dibedakan sebagai berikut:
- Barang dan/atau jasa bersangkutan
Hubungan dengan Pasal-pasal lain Dalam UU No. 5/1999
- Hubungan dengan Pasal 5 UU No. 5/1999. Pasal 5 Ayat 1 mencakup diskriminasi harga secara horizontal. Pasal 6 UU No. 5/1999 tidak dapat diterapkan terhadap diskriminasi harga horisontal. Pengecualian Pasal 5 Ayat 2 Huruf a tidak berlaku terhadap Pasal 6 UU No. 5/1999, karena pengecualian tersebut ditujukan kepada pembatasan persaingan yang horizontal.
Semoga bermanfaat.
Source: Berbagai sumber literatur hukum persaingan dan UU No. 5/1999.
No comments:
Post a Comment