My Philosophy

"Banyak yang kita tahu tetapi tidak pernah kita katakan, banyak yang kita katakan tetapi tidak pernah kita lakukan, Hukum butuh orang yang berani mengatakan dan berani melakukan, karena hukum bukan retorika dari siapapun." (Khaerul H. Tanjung, 2006)

Wednesday, September 19, 2007

Filosofi Hak Kekayaan Intelektual

Manusia adalah makhluk sosial (zoonpoliticon). Pendapat Aristoteles ini menggambarkan bagaimana manusia saling membutuhkan dengan manusia lainnya, saling berbagi, saling membantu dan sebagainya. Bila secara ekstrim dihadapkan pada rezim hak kekayaan intelektual dimana kesan individualistik sangat kental, maka muncul pertanyaan, sebenarnya apakah yang mendasari hak kekayaan intelektual tersebut ?.


Perlindungan hukum terhadap hak kekayaan pribadi telah menjadi faktor kunci dalam pertumbuhan kapitalisme dan ekonomi pasar bebas. Sejarah merekam dari masyarakat kuno menunjukkan bahwa orang-orang mengakui hak untuk menguasai tanah dan barang, dan dihormati oleh pemerintah untuk melindungi kepentingan mereka dalam kekayaan.

Seiring dengan perubahan teknologi, konsepsi ini mengalami pergeseran. Sistem hukum meletakkan kekayaan dalam tiga kategori, yaitu pertama, sebagian besar masyarakat mengakui hak kepemilikan pribadi dalam kekayaan pribadi, yang dikenal dengan intangible things; kedua, kekayaan dalam pengertian riil, seperti tanah dan bangunan; dan ketiga, kekayaan yang diketahui sebagai kekayaan intelektual.

Konsep inilah yang dicoba dipergunakan sebagai dasar pemikiran dalam perlindungan hak kekayaan intelektual. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa kekayaan intelektual membutuhkan olah pikir dan kreatifitas si pencipta, penemu atau sang kreator. Oleh karena itu pengambilan dengan tidak memberikan kompensasi bagi pemiliknya adalah suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan karena melanggar ajaran moral yang baik. Landasan moral ini pula yang dikenal dalam teori filsafat sebagai teori hukum alam. Dalam ajaran moral dikenal doktrin jangan mencuri atau jangan mengambil apa yang bukan hakmu.

Pendekatan landasan moral atas tuntutan untuk melindungi hak kekayaan intelektual ini menekankan pada kejujuran dan keadilan. Dilihat sebagai perbuatan yang tidak jujur dan tidak adil jika mencuri usaha seseorang tanpa mendapatkan terlebih dahulu persetujuannya.

Oleh karena kepemilikan atas hak kekayaan intelektual termasuk dalam hak asasi manusia sebagai individu yang berolah pikir, maka secara alamiah nilai komunalisme harus diabaikan untuk mengakui dan memberikan penghargaan kepada individu tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 Ayat 2 Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa ”Everyone has the right to the protection of the moral and material intersts resulting from any scientific, literary or artistic production of which he (sic) is the author.”

Doktrin moral diadopsi oleh rezim HKI untuk memberikan perlindungan terhadap individu pemilik HKI agar hak-haknya tidak dilanggar oleh orang lain. Namun sesungguhnya doktrin hukum alam diatas bersifat lebih luas daripada sekedar melindungi individu pemilik HKI, karena doktrin itu dapat pula diterapkan untuk melindungi pihak-pihak lain, termasuk masyarakat lokal atau tradisional atas pengetahuan tradisionalnya.

Lebih jauh dasar filosofis rezim HKI adalah alasan ekonomi. Bahwa individu telah mengorbankan tenaga, waktu, pikirannya bahkan biaya demi sebuah karya atau penemuan yang berguna bagi kehidupan. Rasionalitas untuk melindungi modal investasi tersebut mesti dibarengi dengan pemberian hak eksklusif terhadap individu yang bersangkutan agar dapat secara eksklusif menikmati hasil olah pikirnya itu.

Ajaran Aristoteles juga telah menggambarkan argumentasi diatas dalam upaya menciptakan keadilan. Salah satu keadilan yang dikenal dalm teorinya adalah keadilan distributif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang bagian yang sesuai dengan jasanya. Artinya bukan keadilan yang didasari kesamaan jumlahnya tetapi kesebandingan.

Rezim HKI mengadopsi dan mengembangkan pula teori utilitarian Jeremy Bentham. Teori ini menjelaskan bahwa hukum dibentuk agar memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi sebagian besar warga masyarakat. Pembentukan perundang-undangan di bidang HKI merupakan bentuk perlindungan agar masyarakat memperoleh kemanfaatan itu. Inilah yang dalam konteks pembangunan ekonomi terutama di bidang HKI menjadi reward theory.

Reward theory mendalilkan bahwa apabila individu-individu yang kreatif diberi insentif berupa hak eksklusif, maka hal ini akan merangsang individu-individu lain untuk berkreasi. Dengan kata lain, rezim HKI merupakan sebuah bentuk kompensasi dan dorongan bagi orang untuk mencipta. Hal ini dapat menguntungkan masyarakat dalam jangka panjang. Melalui pembatasan penggunaan inovasi diharapkan akhirnya meningkatkan tingkat informasi dan inovasi yang tersedia di masyarakat.

Namun demikian di beberapa negara berkembang, hak alami ini tidak relevan. Oleh karena hak milik sekalipun memiliki fungsi sosial dan menjadi milik bersama. Hal ini berarti bahwa masyarakat dapat memiliki hak alami atas suatu ciptaan atau invensi yang dibuat baik oleh individu maupun melalui kerjasama kelompok. Nilai-nilai falsafah yang mendasari pemilikan individu terhadap suatu karya cipta manusia baik dalam bidang ilmu, sastra, maupun seni adalah nilai budaya barat yang menjelma dalam sistem hukumnya.

Meskipun demikian, disamping dasar filosofis diatas dasar dibentuknya rezim HKI juga termasuk untuk perlindungan reputasi dan mendorong adanya inovasi secara berkesinambungan. Misalnya, reputasi perusahaan minuman Coca Cola dimana telah berinvestasi untuk rnembangun reputasi bagi produk-produknya. Lantas kemudian ada pihak lain yang menggunakan nama Coca Cola atau memiliki kemiripan dengan nama tersebut dan memproduksi minuman pula ? bukankah dapat merugikan perusahaan coca cola ?. Oleh karena itu untuk mencegah pihak lain maka diberikan perlindungan merek yang diatur dalam rezim HKI.

Secara praktis, dibawah perlindungan rezim HKI, penulis novel dan pencipta musik dapat memperoleh kompensasi atas ciptaannya sehingga mereka pun terdorong untuk melahirkan ciptan-ciptaan baru. Dapat dibayangkan bila tidak ada hukum HKI, para pencipta dan inventor mungkin memutuskan untuk tidak mencipta dan menemukan sesuatu.

Hal ini juga berlaku bagi para penanam modal (investor) di bidang ciptaan dan invensi. Para investor memainkan peran yang sangat penting dalam memajukan teknologi. Boleh jadi apabila rezim HKI tidak melindungi, mungkin akan sedikit kemajuan di bidang teknologi, dan orang-orang mungkin tidak akan menulis buku-buku.

Begitupun manfaat yang diperoleh dari rezim HKI, sebagian berpendapat bahwa dapat pula mendatangkan kerugian sosial karena adanya pembatasan kebebasan atau akses secara murah terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi kritik lainnya dari negara-negara (misalnya Indonesia dan China) yang sejak awal telah mengembangkan teknologi dan tradisi kesusastraan secara mengesankan jauh sebelum kapitalis barat menemukan HKI.

Berdasarkan uraian dasar filosofis HKI diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perlindungan yang diberikan dalam HKI lebih dominan pada perlindungan individual. Namun untuk menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat, maka sistem HKI mendasarkan diri pada prinsip sebagai berikut :
  1. Prinsip Keadilan (the principle of natural justice). Pencipta sebuah karya atau orang lain yang membuahkan hasiol kemampuan intelektualnya wajar memperoleh imbalan. Imbalan tersebut dapat berupa materi maupun bukan materi seperti adanya rasa aman karena dilindungi, dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan perlindungan tersebut demi kepentingan pencipta berupa surat kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya yaitu hak eksklusif.

  2. Prinsip Ekonomi (the economic argument). HKI merupakan hak yang berasal dari kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia. Maksudnya, kepemilikan itu wajar karena sifat ekonomis manusia yang menjadikan hal itu sebagai keharusan untuk menunjang kehidupannya di dalam masyarakat.

  3. Prinsip Kebudayaan. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa dan cipta manusia yang dibakukan dalam sistem HKI adalah suatu usaha yang tidak dapat dilepaskan sebagai perwujudan suasana yang diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru.

  4. Prinsip Sosial. Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai perseorangan yang berirdiri sendiri, terlepas dari manusia yang lain akan tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat.
Prinsip-prinsip diatas, setidaknya telah menjadi dasar fiosofis dibangunnya rezim hak kekayaan intelektual termasuk di Indonesia. Lantas, apakah prinsip-prinsip ini implementatif pada kultur masyarakat Indonesia. Saya sulit untuk menanggapinya, silahkan anda pikirkan dan temukan sendiri jawabannya.

2 comments:

Riadi said...

makasi mas infonya bermanfaat sekali buat saya

Unknown said...

Terimakasih penulis, dengan membaca tulisan ini pengetahuan sayamenjadi bertambah. Bila diijinkan saya ingin mengutipnya untuk menjadi bahasa pengantar (introduction) didalam content youtube saya seputar haki.
Terimakasih,
Salamhangat

Adi Purbaya