My Philosophy

"Banyak yang kita tahu tetapi tidak pernah kita katakan, banyak yang kita katakan tetapi tidak pernah kita lakukan, Hukum butuh orang yang berani mengatakan dan berani melakukan, karena hukum bukan retorika dari siapapun." (Khaerul H. Tanjung, 2006)

Wednesday, September 19, 2007

Hak Kekayaan Intelektual: Individualisme dan Komunalisme ?

Konsep Dasar Hak Kekayaan Intelektual


Dinamika mutakhir ilmu pengetahuan dan teknologi telah mencetuskan suatu paradigma konsepsi ekonomi. Pembangunan ekonomi (economic development) berpijak pada dinamika pengetahuan itu sendiri (economy based on knowledge). Kreatifitas intelektual manusia telah menciptakan karya-karya yang berguna bagi pembangunan negara melalui pengembangan cipta, rasa dan karsanya.

Hasil kreatifitas manusia itu memiliki nilai ekonomi yang menjadi kekayaan bagi penciptanya. Pengakuan atas kekayaan intelektual tersebut menjadi salah satu bukti paradigma konsepsi ekonomi yang dimiliki pengetahuan melalui Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Konsekuensi logis bagi setiap kekayaan yang dimiliki individu adalah perlindungan dan pengakuan atas hak milik individu tersebut. Upaya memperoleh perlindungan dan pengakuan atas hak milik ini merupakan salah satu motivasi individu untuk bergabung dengan individu lain yang akhirnya membentuk masyarakat, yang dalam skala besar disebut “Negara”.

Jhon Locke, dalam “The Second Treatise of Government”, menguraikan bahwa negara melalui kekuasaan pemerintahannya akan membentuk ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan dengan tujuan untuk melindungi pemilikan negara dan rakyatnya dari gangguan atau ancaman pihak lain. Masing-masing individu pun secara sukarela menundukkan diri pada ketentuan dan peraturan tersebut.

Argumentasi Jhon Locke diatas, dapat dirumuskan bahwa negara memiliki kewenangan atas rakyatnya didasarkan pada penyerahan hak dari individu kepada negara dengan tujuan untuk mengatur individu yang bersangkutan. Negara dalam menjalankan fungsi dan tugas, disamping menerapkan aturan-aturan juga berwenang memberikan sanksi bagi siapa saja yang tidak mematuhi aturan-aturan tersebut.

Negara Indonesia memberikan perlindungan dan pengakuan atas hak milik rakyatnya dalam konstitusi negara. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Hak individu untuk memperoleh pengakuan hak milik itu lebih lanjut disebut dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 berbunyi “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.

Oleh sebab itu, pemahaman terhadap HaKI bukanlah merupakan domain hukum semata, akan tetapi ada domain-domain ilmu lainnya, seperti teknik, ekonomi dan politik. Namun, meskipun demikian sebagian besar pemahaman terhadap HaKI haruslah berlandaskan pada pemahaman aspek hukum.

Dalam tataran global, perlindungan hukum terhadap hak kekayaan pribadi telah menjadi faktor kunci dalam pertumbuhan kapitalisme dan ekonomi pasar bebas. HaKI memiliki nilai kebendaan dan karenanya termasuk dalam kriteria kekayaan.

Sistem hukum telah mengklasifikasi kekayaan kedalam tiga kategori. Pertama, sebagian besar masyarakat mengakui hak kepemilikan pribadi dalam kekayaan pribadi (intengible things). Kedua, kekayaan dalam pengertian riil, seperti tanah dan bangunan. Ketiga, kekayaan sebagai hasil kekayaan intelektual, dalam bentuk produk ide, seperti dalam bentuk hak cipta, paten, merek dan rahasia dagang.

Dengan demikian, konsep dasar HaKI secara substantif dapat dikemukakan bahwa HaKI merupakan hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Argumentasi atas pernyataan ini adalah pada akhirnya HaKI akan menghasilkan karya-karya intelektual berupa pengetahuan, seni, sastra, teknologi.

Dalam proses penciptaan itu individu membutuhkan pengorbanan tenaga, waktu biaya, dan pikiran. Pengorbanan inilah yang menjadikan karya intelektual tersebut menjadi memiliki nilai. Apabila manfaat ekonomi ditingkatkan hingga dapat dinikmati, maka nilai ekonomi yang melekat telah menumbuhkan konsepsi kekayaan (property) terhadap karya-karya intelektual tersebut.

Individualisme versus Komunalisme

Oleh karena pemahaman HaKI tidak didominasi oleh domain ilmu hukum semata, maka HaKI mesti pula ditelaah dengan menggunakan dimensi ilmu politik tanpa meninggalkan basis ilmu hukum itu sendiri. Metode pendekatan ini sangat berguna untuk mengetahui efektifitas aturan-aturan dalam memberikan perlindungan terhadap HaKI.

Kompleksitas hukum menyebabkan hukum dapat dipelajari dari berbagai sudut pandang. Salah satu disiplin hukum yang kini sedang tumbuh adalah politik hukum (politic of law). Hubungan politik hukum dengan HaKI terjadi pada saat mengkaji bagaimana ketentuan perlindungan HaKI dibentuk dan bagaimana aturan perlindungan HaKI yang telah dibentuk dapat berlaku secara efektif dan efisien.

Politik hukum sendiri masih belum memiliki struktur keilmuan yang mapan. Namun, beberapa ahli berupaya memberikan defenisi untuk memberikan deskripsi struktur keilmuan politik hukum yang meliputi aspek tujuan, metode dan ruang lingkupnya.

Abdul Hakim Garuda Nusantara telah menguraikan bahwa politik hukum nasional meliputi pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya; meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.

Dalam kaitan ini, Moh. Mahfud MD mengemukakan dua pengertian politik hukum. Pertama, politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Kedua, bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.

Pendapat ahli diatas, bila ditinjau kedalam hukum HaKI, maka terasa hubungan pentingnya peranan politik hukum dalam perlindungan HaKI. Hukum HaKI merupakan produk konfigurasi politik. Maksudnya, hukum HaKI dibentuk oleh lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan bersama-sama dengan lembaga eksekutif. Dalam konteks ini, didapati rakyat ikut serta memberikan pendapatnya meskipun melalui lembaga perwakilan dan memang demikian dalam sistem demokrasi.

Sekilas konsep HaKI sangat menonjolkan individualisme, karena HaKI melindungi hasil intelektual individu. Setiap hasil intelektual mendapat perlindungan HaKI dan orang lain tidak dapat menggunakannya dengan sembarangan. Pemahaman ini menjadi beralasan karena struktur hubungan sosial masyarakat yang hingga kini dianut adalah kebersamaan atau komunalisme. Sebenarnya pemahaman diatas tidaklah sepenuhnya benar, sebab HaKI hanya berupaya memberikan jaminan bagi setiap individu untuk menguasai dan menikmati secara eksklusif ciptaannya melalui negara. Tentunya perlindungan hukum yang dimaksud adalah untuk kepentingan pemilik, baik pribadi maupun kelompok.

Dalam proses perubahan pemahaman sebagian masyarakat terhadap HaKI diatas, maka diharapkan hukum HaKI yang telah dibentuk menjadi lebih responsif. Penulis berpendapat demikian dengan mengutip Philippe Nonet dan Philip Selznick yang menguraikan tentang hukum responsif. Philippe Nonet dan Philip Selznick mengatakan hukum responsif membawa janji bagi kehidupan sosial masyarakat, dimana hukum tersebut digunakan untuk merumuskan dan untuk selanjutnya mempertahankan keteraturan publik.

Jadi perlindungan hukum HaKI tidak hanya mengutamakan individualisme melainkan juga secara komunal kelompok, apabila masyarakat itu telah menghasilkan karya intelektual. Hukum HaKI dibutuhkan oleh rakyat untuk melindungi ciptaannya dari gangguan pihak lain (keteraturan publik).

No comments: