My Philosophy

"Banyak yang kita tahu tetapi tidak pernah kita katakan, banyak yang kita katakan tetapi tidak pernah kita lakukan, Hukum butuh orang yang berani mengatakan dan berani melakukan, karena hukum bukan retorika dari siapapun." (Khaerul H. Tanjung, 2006)

Thursday, February 28, 2008

Kartel SMS Operator Telekomunikasi

Persaingan pada bisnis telekomunikasi adalah suatu keharusan. Karena itu dibentuk UU Telekomunikasi No. 36/1999 dan UU Anti Monopoli No. 5/1999 yang melarang operator telekomunikasi untuk melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Tidak mudah memang, lihat saja putusan KPPU No. 7/2007 terhadap Temasek Holding dan PT Telkomsel. Keduanya keberatan karena merasa tidak melakukan pelanggaran. Belum lagi perkara itu usai, KPPU kembali mengusut dugaan kartel SMS oleh operator.
Sungguh langkah progresif bagi KPPU dalam menjaga iklim persaingan.
Fenomena ini menarik untuk dicermati, karena pada industri ini ada pengawal persaingan lain yaitu Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). BRTI memiliki fungsi pengawasan, selain fungsi pengaturan dan fungsi pengendalian. Artinya di luar peran operator dan konsumen, ada peran BRTI dan KPPU disana untuk menciptakan persaingan sehat.
Operator Diduga Kartel
Sikap responsif KPPU harus dengan kecermatan penerapan hukum yang komprehensif. Pelanggaran persaingan tidak hanya dikaji dalam domain hukum semata melainkan juga melibatkan domain lain terkait mekanisme pasar. Indonesia bukanlah penganut sistem ekonomi pasar murni melainkan sistem ekonomi pasar yang diregulasi. Karenanya segala hal yang terbentuk di pasar masih ada campur tangan pemerintah.

Isu tarif adalah isu sensitif pada bisnis telekomunikasi saat ini. Sensitif karena berdampak langsung kepada konsumen dan merupakan alat bagi operator dalam menjaring pelanggan melalui strategi pemasaran. Tetapi posisi yang berbeda antara regulator dan pelaku pasar secara politis, acapkali memberikan pengaruh signifikan terhadap struktur pasar.
Untuk menguji analisis di atas, maka dugaan kartel SMS yang dilaporkan BRTI kepada KPPU dapat menjadi contoh kasus. BRTI menduga operator melakukan kartel karena menurut pengamatan BRTI, harga rata-rata SMS masih berkisar Rp.250-Rp.350 per SMS. Padahal BRTI telah menentukan harga ideal yaitu Rp.73-Rp.75 per SMS. Seakan tidak mau kehilangan momentum pasca putusan terhadap Temasek Holdings dan PT Telkomsel, KPPU pun melanjutkan investigasi atas laporan ini.
Hasil pemeriksaan sementara KPPU ditemukan adanya klausul penetapan harga SMS antara dua operator yaitu PT Excelcomindo dan PT Hutchinson yang dimuat pada Perjanjian Interkoneksi. Klausul itu menyebutkan PT Hutchinson dilarang menetapkan tarif di bawah Rp.250 per SMS. KPPU pun menjadi yakin atas laporan BRTI, karena adanya klausul harga yang jauh di atas harga yang ditetapkan BRTI.
Namun demikian, pertanyaan mendasar adalah apakah fakta klausul harga dalam perjanjian serta merta membuktikan telah terjadi kartel harga oleh operator?. Selanjutnya, apakah harga yang terbentuk di pasar semata-mata terjadi karena aksi operator yang meraup keuntungan secara eksesif?. Terakhir, apakah kalau demikian seluruh operator dianggap melanggar UU Anti Monopoli?. Menurut penulis, perlu riset hukum dan riset pasar yang mendalam terutama oleh KPPU dalam menerapkan hukum persaingan atas dugaan ini.
Tarif Telekomunikasi
Adalah bijaksana apabila isu dugaan kartel ini diawali dengan mencermati mata rantai penyelenggaraan telekomunikasi terutama terkait dengan penetapan tarif. Banyaknya operator telekomunikasi yang masuk pasar mencerminkan hambatan masuk pasar yang semakin menurun. Kerentanan munculnya hambatan ini terjadi manakala para operator harus melakukan keterhubungan jaringan dengan operator lain, sebagaimana diatur dalam Permenkominfo No. 8/2006 tentang Interkoneksi.
Mata rantai penting yang perlu digarisbawahi adalah berperannya BRTI untuk memeriksa, mengevaluasi, dan mengawasi Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) yang diajukan oleh operator. Persetujuan BRTI menjadi keharusan terutama bagi operator yang memiliki pendapatan usaha (operating revenue) 25 % atau lebih dari total pendapatan usaha seluruh operator dalam segmentasi layanannya. Lain kata, BRTI sudah seharusnya mengetahui penetapan harga yang ditetapkan oleh operator posisi dominan dalam setiap DPI-nya dengan operator lain. Karena ini akan memberikan efek domino terhadap operator yang tidak dominan.
Tarif interkoneksi penting karena menjadi komponen perhitungan tarif SMS oleh operator. Bahkan sebenarnya dalam Pasal 14 ayat (2) Permenkominfo No. 8/2006, besaran biaya interkoneksi dapat disesuaikan dengan nilai ekonomis, yaitu kapasitas permintaan dan jumlah trafik yang dikomitmenkan oleh operator yang meminta layanan interkoneksi. Artinya terbuka peluang negosiasi antara dua operator dalam perjanjian interkoneksi.
Kalau demikian maka tidak mengherankan apabila dalam perjanjian interkoneksi, operator penyedia interkoneksi mengoptimalkan strategi bisnis dan posisi tawarnya untuk bernegosiasi dengan operator baru yang kapasitas permintaan dan jumlah trafiknya masih belum teruji di pasar. Regulasi interkoneksi tidak melarang untuk melakukan itu. Tetapi BRTI harus mengawasi agar tidak terjadi harga tidak wajar yang dapat menciptakan hambatan persaingan bagi operator baru.
BRTI seharusnya sejak awal mengintervensi pasar apabila ada prilaku pelaku pasar tidak pro persaingan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, patokan harga ditetapkan BRTI pada saat mekanisme harga pasar telah terbentuk. Lantas, bila demikian apakah tarif SMS yang diduga kartel itu semata-mata disebabkan oleh operator?. Penulis mengutip pendapat Ketua Yayasan Lembaga Konsumen, bahwa tarif SMS seharusnya lebih murah tetapi hal ini tak lepas dari kesalahan pemerintah. Pemerintah belum memiliki regulasi yang lengkap dan konkrit tentang besaran tarif SMS. (Koran Tempo, 14 Desember 2007).
Kartel Dalam UU Anti Monopoli
Apabila dianalisis dugaan kartel SMS dalam UU Anti Monopoli, maka ada dua pasal yang terkait dengan dugaan ini yaitu Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 UU No. 5/1999. Dugaan kartel operator ini lebih cenderung terjerat dengan Pasal 5 ayat (1), yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”.
Dalam teori hukum persaingan, Pasal 5 ayat (1) mengatur secara per se illegal. Maksudnya tidak perlu pembuktian lebih lanjut apakah kartel itu dapat atau tidak dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Sebaliknya, Pasal 11 mengatur secara rule of reason, dimana harus dibuktikan dahulu apakah perjanjian itu mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Meskipun Pasal 5 ayat (1) tidak memerlukan pembuktian dampak persaingan tetapi adanya perjanjian untuk maksud kartel menjadi anasir pokok menerapkan pasal ini. Mengapa demikian, karena hasil sementara KPPU hanya menemukan salah satu klausul harga dalam perjanjian interkoneksi. Artinya, operator melakukan itu bukan karena maksud untuk kartel, tetapi karena ada peluang bagi operator yang tidak dilarang regulasi untuk bernegosiasi.
Bahkan apabila diuji lebih lanjut, tarif Rp.250 per SMS dalam perjanjian interkoneksi dua operator di atas secara faktual masih sesuai dengan harga pasar. Sebaliknya, harga yang ditetapkan BRTI, jelas bukanlah harga pasar karena memang tidak ada operator dengan tarif demikian. Kalaupun ada mungkin Rp.100 per SMS.
Dalam konteks ini penulis berusaha bersikap netral, agar KPPU dapat menerapkan UU Anti Monopoli secara cermat. Alasan utamanya adalah karena hambatan persaingan tidak saja datang dari pelaku usaha di pasar, melainkan juga dapat ditimbulkan oleh pemerintah melalui kebijakan dan regulasinya. Dengan kata lain, dugaan kartel SMS ini tidak dapat ditimpakan menjadi kesalahan mutlak para operator. Semoga dengan kasus ini, pemerintah meregulasi tarif dengan formulasi yang baik bagi operator dan konsumen.

2 comments:

Anonymous said...

Mari menuju RECHSTAATS !!!

Unknown said...

betul kawan...