My Philosophy

"Banyak yang kita tahu tetapi tidak pernah kita katakan, banyak yang kita katakan tetapi tidak pernah kita lakukan, Hukum butuh orang yang berani mengatakan dan berani melakukan, karena hukum bukan retorika dari siapapun." (Khaerul H. Tanjung, 2006)

Wednesday, September 14, 2016

Menghitung Diri : Orang Hukum Harus Beriman & Berilmu

Orang hukum adalah saya. Saya sudah belajar hukum sampai jenjang strata II, sekira 2 tahun menjadi asisten dosen di Fakultas Hukum kemudian hampir 9 tahun menjalani praktek sebagai Advokat di salah satu firma hukum di Jakarta. Pun saat ini hampir 3 tahun bekerja sebagai in-house counsel di perusahaan telekomunikasi di departemen hukum. Awam menyebut saya ini adalah orang hukum. Tanpa akhiran -an, tentunya. 

Namun apapun ilmu dan pengalaman hukum yang sekarang saya geluti, selalu saja hati saya cenderung lebih mencari ilmu-ilmu dan kajian keislaman (Alhamdulillah...). Ini bukan karena ikut-ikutan kaum kekinian dengan share-share isi kitab dari mbah google atau media sosial lain yang nggak tahu apakah tautannya benar atau tidak atau penerapannya sesuai konteks atau tidak, melainkan karena kalimat awal tulisan ini, "Orang hukum adalah saya" sehingga “saya harus beriman dan berilmu”.

Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah menuturkan "hasil usaha jiwa dan qalbu yang terbaik dan penyebab seorang hamba mendapatkan ketinggian (derajat mulia) di dunia dan akhirat adalah ilmu dan iman". Landasan Imam Ibnu Al-Qayyim menyebut 2 (dua) frase Ilmu dan Iman ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS. Ar-Rum/30:56 yang terjemahannya berbunyi "Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir) : "sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit, maka inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakini(nya)". Bahkan sering pula dijadikan rujukan terkait Ilmu dan Iman ini adalah QS. Al-Mujadilah/58:11 yang terjemahan bagian akhir ayat berbunyi "....niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

[Sambil menunggu macet sebelum pulang ke rumah, saya melanjutkan perenungan  saya atas kedua frase ini dan menuliskannya di blog ini karena jujur sudah lama meninggalkan kebiasaan menulis ini, alasan klasik…]

Setiap hari saya bertemu orang-orang cerdas berilmu bahkan secara kasat mata rajin pula ibadah, kagum pastinya dan batin saya menduga sudah tentu orang-orang inipun memiliki keimanan. Menduduki jabatan, memiliki banyak bawahan, dan keahlian yang memukau adalah mungkin ini buah dari janji Allah bagi mereka karena berilmu dan beriman. Itulah asumsi dalam benak saya, yang selalu mendorong saya untuk berusaha keras pula menjadi orang hukum yang beriman dan berilmu.

Ternyata dalam beberapa literatur yang barusan saya baca dan pelajari, agaknya saya perlu berhati-hati dalam memahami hal ini. Karena kebanyakan manusia saat ini telah keliru dalam memahami hakekat llmu dan Iman ini, sehingga setiap kelompok menganggap Ilmu dan Iman yang dimilikinya satu-satunya hal yang dapat mengantarkan kepada kebahagiaan. Padahal tidak demikian, karena sesungguhnya kebanyakan mereka tidak memiliki Iman yang menyelamatkan dan tidak pula memiliki Ilmu yang mengangkat pada ketinggian derajat, bahkan mereka telah menutup untuk diri mereka sendiri jalan Ilmu dan ImanApakah itu ?, Ilmu dan Iman yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dan Para Sahabatnya serta orang-orang sesudahnya yang mengikuti mereka di atas manhaj dan petunjuk mereka. Demikian pula apabila diperhatikan pemahaman kaum muslimin sendiri tentang Iman, maka kerap ditemukan banyak kekeliruan dan penyimpangan. Sebagai contoh, acapkali di kalangan kaum muslimin ketika berbuat dosa menyatakan "...yang penting kan hatinya...". Inilah maksud saya diawal yang membutuhkan pelurusan dan pencerahan bagaimana sesungguhnya konsep iman yang benar tersebut.

IMAN NAIK TURUN

Banyak dalil dari nash-nash Al-Quran dan Sunnah menerangkan naik turunnya Iman ini. Adapula pengelompokkan beberapa tingkatan pemilik Iman ini dengan penyebutan as-Sabiq bil khairat, al-Muqtashid dan zhalim linafsihi. Selain itu, pengelompokkan yang banyak dikenal sering dibedakan dengan sebutan al-Muhsin, al-Mukmin dan al-Muslim. Pokok utamanya adalah membuktikan mereka pemilik Iman ini tidak berada dalam satu martabat atau derajat. Dengan kata lain, Iman bisa naik turun. Demikian pula dengan saya, kecuali keimanan dalam kalimat syahadatain, saya jelas seringkali mengalami dinamika keimanan ini.

Al-Quran telah menggambarkan secara konkrit bagaimana iman yang dapat naik dalam QS. Ali-Imran/3:173 yang terjemahanya berbunyi “(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka, ada orang-orang yang mengatakan : “sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab : “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”.

Bahkan bagi mereka yang sudah beriman dan mendapat petunjuk sekalipun, Allah masih akan menambah petunjuk-Nya, lihat saja QS. Maryam/19:76 yang terjemahannya berbunyi “Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal shaleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya”.

Ringkasnya, Iman itu adalah perkataan lisan, qalbu dan anggota tubuh sebagaimana bunyi hadits yang diriwayatkan Imam Syairozi dari Aisyah ra. “Qaala rasulullaahi shalallaahu ‘alaihi wassalam: al iimanu billahi al iqraaru billisani watashdiiqun bil qalbi wa’amalun bil arkaani”. Bila diartikan kira-kira begini, “Bersabda Rasulullah SAW : Iman terhadap Allah itu ialah diikrarkan dengan lisan, dan dibenarkan dengan hati, diamalkan dengan anggota badan”.

Lantas, bagaimana mengetahui gambaran orang-orang yang beriman itu?, hal inipun secara lugas dan ringkas dijelaskan dalam QS. Al-Anfal/8:2 untuk menjadi panduan kita yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”.

Serasa langsung terjawab kegundahan saya, bagaimana pula saya atau mereka yang telah beriman melakukan perbuatan dosa dan maksiat, dimanakah posisi Iman  pada saat itu ?. Ternyata Rasulullah SAW pernah bersabda : “Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan mukmin dan tidaklah peminum minuman keras ketika minumnya dalam keadaan mukmin serta tidaklah mencuri ketika mencuri dalam keadaan mukmin”. Banyaknya cabang-cabang Iman ini dijelaskan dalam berbagai hadis dimana yang paling utama adalah ucapan Laa Ilaha Illallah dan yang terendah adalah membersihkan gangguan dari jalanan. Diantara hal lain lagi, rasa malu pun merupakan salah satu cabang dari Iman.

TAHU SEBAB NAIK TURUNNYA IMAN

Dalam salah satu materi Ustadz Kholid Syamhudi, Lc, beliau menerangkan pandangan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah yang pada intinya menyatakan “Di antara sebab dan faktor pendorong keimanan adalah tafakur kepada alam semesta berupa penciptaan langit dan bumi serta makshluk-makhluk penghuninya dan meneliti diri manusia itu sendiri beserta sifat-sifat yang dimiliki. Ini semua adalah faktor pendorong yang kuat bagi iman”.

Setelah meresapi nash-nash Al-Quran dan Sunnah di atas, saya kira perlu kalimat ringkas untuk tahu sebab naiknya Iman dan sebaliknya turunnya Iman, tujuannya semata agar menjadi orang hukum yang beriman dan berilmu. Cara praktis menaikkan Iman adalah :
  1. Belajar ilmu yang manfaat yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah.
  2. Merenungi ayat-ayat kauniyah Allah SWT, sebagaimana pandangan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah di atas.
  3. Berusaha bersungguh-sungguh melaksanakan amalan shaleh dengan ikhlas dan mutaba’ah (mencontoh Rasulullah SAW), memperbanyak dan melaksanakannya secara rutin.

Sebaliknya, baik pula tahu penyebab turunnya Iman agar dapat dihindari baik dari faktor internal maupun dari faktor eksternal, diantaranya :
  1. Hindari kebodohan karena inilah sebab terbesar berkurangnya Iman.
  2. Jangan lalai dan berpaling dari kebenaran serta lupa.
  3. Jauhi perbuatan maksiat dan dosa.
  4. Pahami dan selalu ingat syaithan adalah musuh abadi manusia.
  5. Jangan terlalu menyibukkan diri dalam perkara dunia dan fitnahnya.
  6. Bergaullah dengan orang-orang baik dan shaleh.

Tantangan saya dan mungkin kita adalah mengendalikan nafsu yang dititipkan Allah SWT dan selalu memohon rahmat Allah SWT serta segera bertaubat. Karena itu Allah SWT telah menegaskan dalam QS. Yusuf/12:53 yang berbunyi “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi Rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”


Orang hukum adalah saya. Saya masih dalam usaha untuk menjadi orang hukum yang beriman dan berilmu. Wallahu a’lam.