My Philosophy

"Banyak yang kita tahu tetapi tidak pernah kita katakan, banyak yang kita katakan tetapi tidak pernah kita lakukan, Hukum butuh orang yang berani mengatakan dan berani melakukan, karena hukum bukan retorika dari siapapun." (Khaerul H. Tanjung, 2006)

Thursday, February 17, 2011

Ironi Laporan PPATK per Januari 2011



Membaca akun twitter @PPATK hari Selasa (8/2/11), diketahui data per Januari 2011, PPATK menerima 67.607 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang berasal dari 153 bank dan 185 non-bank serta menerima 8.698.678 Laporan Transaksi Keuangan Tunai. Kemudian PPATK telah menyerahkan hasil analisisnya sebanyak 1.488 dari laporan tersebut kepada Penyidik yang sudah dikualifikasikan sebesar 40,5% berindikasi Tipikor, 28,6% berindikasi Penipuan, 3,3% berindikasi Narkotika, 3% berindikasi Penyuapan, dll. Data ini dikonfirmasi pula dengan isi Khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Ketua PPATK, Yunus Husein, di Mesjid Agung Sunda Kelapa (11/2/11).


Laporan ini menjadi sebuah ironi. Mengapa?, karena justru hingga kini belum pernah Penyidik menyampaikan ke publik, berapa laporan dari sekian ribu laporan PPATK yang diterimanya tersebut telah dilakukan penyidikan dan dinyatakan telah memenuhi unsur tindak pidana pencucian uang atau sebaliknya berapa dari laporan itu yang tidak memenuhi unsur tindak pidana pencucian uang ?.

Berdasarkan pengamatan penulis, Penyidik cenderung belum menempatkan laporan PPATK dalam skala prioritasnya, bahkan tidak terlepas kemungkinan memang Penyidik masih belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang tindak pidana ini sehingga selalu “alergi” menggunakan dan menyatakan suatu peristiwa pidana itu telah memenuhi unsur tindak pidana pencucian uang. Lihat saja dalam kasus Gayus atau kasus-kasus mereka yang tersangka korupsi oleh KPK, adakah Penyidik menempatkan pasal-pasal pencucian uang? Jawabannya 98% “tidak”, mohon koreksi kalau salah.

Laporan ini jelas menggambarkan setidaknya 2 (dua) hal, pertama, PPATK telah menjalankan dengan baik amanat UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kedua, aparat penegak hukum hingga saat ini belum menempatkan hasil analisis PPATK tersebut sebagai skala prioritas untuk ditindaklanjuti. Untuk yang kedua ini, ada banyak alasan bagi penyidik terutama antara lain alasan rahasia bank (misalnya kasus rekening sejumlah Pati Polri, saat ini yang diramaikan justru apakah ini informasi publik atau bukan), alasan tidak ditemukannya bukti tentang asal usul harta kekayaan, bahkan lucunya ada lagi, wacana tentang pembuktian terbalik, dan seterusnya.

Semua alasan ini hanyalah alasan-alasan yang menggambarkan betapa centang prenangnya pemahaman aparat penegak hukum di tingkat penyidikan terkait tindak pidana pencucian uang ini. Padahal sebenarnya pengggunaan pasal-pasal pencucian uang jelas memberikan manfaat signifikan bagi upaya perampasan kembali uang negara dari para pelaku kejahatan semacam koruptor, tukang tipu, mafia narkoba, maupun orang yang suka disuap dan penyuap.

Sepatutnya di tahap awal, Penyidik tidak terlalu urgen memperdebatkan bisa atau tidaknya konstruksi pasal-pasal pencucian uang dalam suatu kasus korupsi, narkoba atau sejenisnya dapat diterapkan. Melainkan saatnya menindaklanjuti analisis dari PPATK sebagai pintu masuk yang cukup untuk menguak suatu dugaan telah terjadinya pencucian uang yang melekat pada setiap tindak pidana semacam korupsi, penipuan, narkoba, dan sebagainya. Karena terpenuhinya peristiwa pidana pencucian uang itu, hanya berkisar pada 3 (tiga) macam pola prilaku yakni :


  1. Penempatan (placement), yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan.
  2. Transfer (layering), yakni upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan yang lain. Dengan dilakukan layering, akan sulit bagi penegak hukum untuk dapat mengetahui asal usul harta kekayaan tersebut.
  3. Menggunakan harta kekayaan (integration), yakni upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.

Apabila diklasifikasikan istilah Tindak Pidana Pencucian Uang, maka terdapat dua frase yaitu tindak pidana dan pencucian uang. Tindak pidana yang disebutkan dalam KUHP berasal dari bahasa Belanda dengan istilah strafbaar feit. Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau een gedeelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai “suatu kenyataan yang dapat dihukum”. Hal ini sudah tentu tidak tepat, oleh karena kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya manusia atau pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan. Prof. Simons merumuskan bahwa Een strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.(EY Kanter & SR Sianturi, 2002).

Sementara istilah pencucian uang, antara lain menurut M. Giovanoli merupakan suatu proses yang dengan cara itu aset terutama aset tunai yang diperoleh dari tindak pidana, dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga aset tersebut seolah-olah dari sumber yang sah.(Bambang Setiaprodjo, 1998).

Lantas demikian, apalagi hambatan yang dihadapi penyidik, apabila secara teori hukum pidana sekalipun, tindak pidana pencucian uang itu jelas dan terang dapat diterapkan dengan mudah apalagi dalam rangka menindaklanjuti laporan hasil analisis PPATK?.

Akhirnya penulis beranggapan satu-satunya masalah yang dihadapi penyidik untuk tindak pidana pencucian uang ini adalah “political will” yang menggambarkan keengganan dalam memasukkan pasal-pasal tentang pencucian uang, karena tidak cukup mengerti, tidak cukup berani, atau tidak cukup biaya, waktu dan tenaga untuk itu.

Untuk meretas ini menurut hemat penulis, dibutuhkan sosok Kapolri, Kejaksaaan dan KPK yang berpengetahuan cukup, tegas dan berani. atau berikan PPATK kewenangan untuk melakukan Penyidikan seperti yang diberikan kepada KPK sehingga ribuan laporan itu tidak hanya menjadi sampah dan akselerasi perampasan kembali uang negara atau uang hasil kejahatan semakin cepat!.

1 comment:

tika_banget said...

Pemberantas suatu tindak pidana baik itu tindak pidana pencucian uang ataupun tindak pidana lainnya, tidak akan pernah bisa diberantas oleh siapapun walaupun memiliki kepintaran ataupun pemahaman yang “hebat” mengenai tindak pidana jika MENTAL dari pihak-pihak yang diberi kewenangan untuk itu baik PPATK maupun Kepolisian tidak “dirubah”.

Tentunya perubahan disini adalah perubahan baik yang tidak dipengaruhi faktor-faktor lain yang antara lain kekuasaan dan uang sebagai salah satu faktor yang sering menyebabkan beberapa “masalah” ditolerir oleh orang-orang yang memiliki kewenangan di Negara ini. Oleh karena itu pentingnya suatu mental yang bertujuan memajukan bangsa dan Negaranya.