My Philosophy

"Banyak yang kita tahu tetapi tidak pernah kita katakan, banyak yang kita katakan tetapi tidak pernah kita lakukan, Hukum butuh orang yang berani mengatakan dan berani melakukan, karena hukum bukan retorika dari siapapun." (Khaerul H. Tanjung, 2006)

Friday, September 16, 2011

Advokat Prof. Liesbeth Zegveld : Yang Penting Dari Kasus Rawagede

Nun jauh disana, Pengadilan Sipil Den Haag, Belanda melalui Majelis Hakimnya pada Rabu, 14 September 2011 telah menjatuhkan satu putusan yang sangat monumental. Betapa tidak, putusan Pengadilan Sipil di Den Haag tersebut menggetarkan rasa kegembiraan hingga ke tanah air.
Paling tidak bagi keluarga korban Rawagede yang gigih dan tak kenal lelah mencari keadilan hingga Pengadilan Sipil Den Haag dengan lugas mengabulkan tuntutan keluarga korban dan meminta pemerintah Belanda membayar kompensasi.
Sekedar menyegarkan ingatan kita, Kasus Rawagede adalah kasus pembunuhan massal yang dilakukan oleh tentara kolonial Belanda pada 9 Desember 1947 di Rawagede. Tidak kurang dari 431 orang penduduk sipil dikumpulkan di tengah lapangan dan ditembaki secara membabi buta oleh tentara kolonial. Tindakan keji itu "katanya" dilakukan hanya karena ingin mencari dan menumpas sekelompok ekstrimis yang selama ini membuat kekacauan dan memberikan perlawanan terhadap tentara kolonial. Sungguh ironis! karena jelas tindakan itu bukanlah tindakan sebagai bagian dari suatu strategi militer, melainkan pembantaian orang yang tidak berdosa (innocent people) dan jelas merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.

Artikel ini justru tidak mengulas peristiwa masa lampau di atas, karena hanya akan menyayat hati dan memantik dendam di hati, tidak saja bagi keluarga korban melainkan juga bagi setiap orang yang namanya "manusia" bernurani dan berprikemanusiaan. Tetapi baiknya dari setiap peristiwa perlu kita renungkan dan resapi berbagai pelajaran (i'tibar) dan teladan (uswah) untuk kehidupan masa datang yang lebih baik.

Pelajaran dan teladan pertama adalah bagaimana sebuah Majelis Hakim telah berhasil mempertahankan integritasnya untuk tetap memeriksa dan memutuskan suatu perkara dengan level kesadaran dan temperatur nurani yang bersih (common sense) diikuti dengan penguasaan pengetahuan hukum (legal knowledge) yang baik. Mengapa demikian, karena bukan main-main yang dituntut adalah Kerajaan Belanda, pemerintahnya  sendiri!, dimana para hakim dan keluarganya itu pun hidup dan bertempat tinggal sebagai warga negara Belanda. Sementara di sisi lain, yang menggugat adalah 9 (sembilan) keluarga korban Rawagede yang merupakan warga negara Indonesia atas peristiwa yang terjadi 64 tahun silam.

Tentu tidak mudah bagi Majelis Hakim untuk mempertahankan common sense dan legal knowledge yang dimilikinya. Terjadi perdebatan hukum, dimana advokat/pengacara Pemerintah Belanda bersikukuh dalam argumentasinya perkara tersebut sudah kedaluwarsa (verjaring). Namun sebaliknya, Majelis Hakim mematahkan argumen kedaluwarsa itu karena dianggap tidak logis. Sekali lagi, ini membuktikan betapa seorang Hakim tidak hanya harus memiliki legal knowledge yang baik melainkan wajib mempunyai rasio hukum (legal ratio atau ratio decidendi) yang baik pula dari setiap perkara yang diperiksanya.

Atas peristiwa ini, dalam benak penulis selaku praktisi hukum kembali menguji apakah masih mungkin mengharapkan Hakim di Indonesia juga memiliki naluri sedemikian dari setiap perkara yang diperiksanya. Putusan ini kembali mengusik penulis, apakah benar sistem hukum di negeri Belanda, yang katanya kiblat sistem hukum Indonesia, benar-benar Eropa Kontinental (positivism). Jelas, bantahan Majelis Hakim terhadap alasan pengacara yang berdalil perkara kadaluarsa dianulir karena dianggap tidak logis membuktikan sebaliknya. 

Bukankah ini bisa dijadikan, pelajaran dan teladan bagi penegakan hukum di negeri kita?, berapa banyak kasus pelanggaran HAM yang belum jelas rimbanya dan berapa banyak kasus perampasan uang rakyat, hasil pajak, dipermainkan oleh para koruptor padahal rakyat tetap miskin, pendidikan mahal, kesehatan mahal, bahkan listrik dan air krisis, sementara rakyat dipaksa membayar pajak!!!. Ini kan sama saja dengan peristiwa Rawagede dimana tentara Belanda mengumpulkan penduduk di tengah lapangan kemudian ditembaki, bedanya yang terjadi sekarang adalah uang rakyat dikumpul dengan alasan pajak kemudian dikorupsi.....

Pelajaran dan teladan kedua adalah bagi seorang advokat, bagaimana seorang Prof. Liesbeth Zegveld gigih dan tak kenal lelah mendampingi para janda keluarga korban Rawagede. Patut rasanya bagi Penulis menjadikannya seorang teladan. Dia memiliki integritas, pengetahuan hukum yang baik dan keteguhan hati untuk melawan tindakan penyelewengan (misdrijven). Berbagai komentar para kolega ditujukan kepadanya bahwa tidak mungkin menang melawan staat (Kerajaan Belanda), tetapi tetap tidak menyurutkan semangatnya meski ia juga mengetahui sejak tahun 1969, kasus-kasus kejahatan tentara kolonial Belanda diangkat di Media dan menjadi perdebatan publik. Tapi semuanya kandas, tak pernah masuk sidang meja hijau. Melihat ini baru pantas rasanya profesi advokat itu sebagai profesi yang mulia (officium nobillium).

Sekedar untuk mengenal lebih jauh tentang sosok advokat wanita bernama Prof. Liesbeth Zegveld ini, beliau lahir tahun 1970. Sekolah hukum (S1) di Fakultas Hukum, Utrecht University dan meraih gelar doktor cum laude tahun 2000. Sejak tahun 2005, beliau menjadi Partner di kantor hukum Bohler Franken Koppe Wijngaarden, Amsterdam. Spesialisasi beliau adalah pendampingan hukum terhadap para korban perang, tidak hanya Rawagede-Indonesia, melainkan sebelumnya terhadap korban perang di Kenya di hadapan International Criminal Court (ICC), Palestina, dll. Sejak tahun 2006, beliau mengajar pula di Fakultas Hukum, Universiteit Leiden pada mata kuliah Hukum Publik Internasional dan Hukum Humaniter. Beliau secara aktif dan konsisten menulis isu-isu hukum internasional terutama kompensasi terhadap korban perang dan perlindungan hak wanita dan anak-anak. Aktif dan menjadi anggota Komite Asosiasi Hukum Internasional untuk Kompensasi bagi Korban Perang (International LawAssociation's Committee for Compensation for War Victims.

Di luar itu, kasus Rawagede ini seharusnya dijadikan preseden bagi upaya hukum pencarian keadilan bagi para keluarga korban HAM lain di Indonesia oleh tindakan kejam tentara kolonial Belanda. Sebut saja Kasus di Sulawesi Selatan tahun 1949 oleh pimpinan tentara kolonial Kapt. Raymond Westerling, dan sebagainya. 

Sebagai penutup, penulis mengutip salah satu kalimat yang dilontarkan oleh Prof. Liesbeth Zegveld yang berbunyi : "While it is no magic bullet, law can play a much greater role in tackling serious human rights violations". Semoga bermanfaat! bagi para Advokat.....selamat berjuang!!!

No comments: