Pengalaman saya sebagai advokat
baru masih seumur jagung, pengetahuan pun masih setampuk pinang. Tapi melihat
realitas penegakan hukum hari ini, saya tercenung sejenak untuk berhenti
sebentar melihat diri, apakah saya masih berada di jalan yang benar? Apakah saya
harus mundur menyesali ketidakberdayaan diri untuk berbuat dan memberi yang
lebih baik? Apakah masih ada asa yang patut diletakkan hari ini di pundak para
penegak hukum di Indonesia?.
Tidak saja advokat seperti saya, polisi, jaksa bahkan seorang Hakim Agung hari-hari ini pun menjadi buah bibir kekecewaan karena kemana lagi asa hukum digantungkan di negeri ini ketika ketajaman pikiran telah mengalahkan ketajaman nurani. Sementara koruptor berkilah, narkoba berserak, dan hukum dipermainkan.
Tidak saja advokat seperti saya, polisi, jaksa bahkan seorang Hakim Agung hari-hari ini pun menjadi buah bibir kekecewaan karena kemana lagi asa hukum digantungkan di negeri ini ketika ketajaman pikiran telah mengalahkan ketajaman nurani. Sementara koruptor berkilah, narkoba berserak, dan hukum dipermainkan.
Berbicara tentang
hukum, berarti berbicara banyak hal. Hal tentang hak dan kewajiban,
perlindungan, keadilan, kepastian, bahkan berbicara tentang nilai, etika dan
moral. Mereka yang siap berbicara tentang hukum, ibarat pelaut yang siap
mengarungi bahtera di samudera luas yang tak bertepi, dimana badai sudah siap
menghadang, tidak tahu apakah bahtera bisa selamat sampai ke seberang.
Pemikiran dibawah ini harus dimulai dengan menghilangkan sikap a priori para
akademisi terhadap realitas hukum dan kerendahan hati serta kebijaksanaan
mereka yang mencari keadilan (justice) dan mendambakan tegaknya
kebenaran (truth).
Potret hukum,
penegakan hukum dan problematikanya di Indonesia sekarang ini menampilkan berbagai
realitas negatif yang setidak-tidaknya harus diperbaiki ke depan, antara lain;
Pertama, harus
disadari bahwa problematika hukum dan penegakannya di Indonesia saat ini sangat
kompleks (over complicated). Hal ini mendorong kita untuk memikirkan
dari mana kita harus memulai pemecahannya. Tentunya strategi itu setidaknya memperhatikan
berbagai aspek, baik filosofis, yuridis dan sosiologis. Filosofis dirasa
perlu, karena ternyata secara nilai (value) dan norma (norm) telah
terjadi dekadensi dan degradasi terhadap perilaku hukum itu sendiri. Termasuk
didalamnya etika dan moral yang membawa logika hukum masyarakat kepada
keputusasaan akan adanya keadilan dan kepastian hukum. Hukum hanyalah huruf
mati belaka (black letter rule), hukum kosong dengan makna. Untuk itu
perlu pengkajian dan pemikiran dari para ahli agar kekosongan makna ini tidak
menghantui perilaku dan logika hukum masyarakat yang sudah pesimis bahwa
keadilan dan perlindungan hukum hanyalah utopia belaka. Aspek yuridis juga
perlu, karena bagaimanapun nilai dan
norma yang telah ada harus dapat ditransformasikan kedalam sistem hukum (legal
system). Sistem hukum yang secara responsif memberikan kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakatnya. Bukan justru sebaliknya, yang secara
represif memaksakan kehendaknya kepada masyarakatnya. Bahkan yang paling
penting diperhatikan adalah aspek sosiologis, karena harus disadari
bahwa hukum ada karena ada masyarakat (ibi societas ibi ius). Tidak
seperti potret hukum yang sedang ditampilkan saat ini dimana hukum hanya ada
untuk rakyat (wong cilik) tetapi hukum tidak ada bagi penguasa. Artinya,
perlu mendudukkan kembali prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before
the law) dan prinsip tidak memihak (impartial).
Kedua, Adanya berbagai
bentuk pertentangan dan kesimpangsiuran di dalam hukum (peraturan
perundang-undangan-pen.) satu sama lain, yang bermuara pada sulitnya mengimplementasikan
substansi hukum itu sendiri (contradictory).
Ketiga, Aparatur
pelaksana yang berkewajiban untuk menegakkan hukum cenderung korup (corruption).
Berbagai penyalahgunaan wewenang dan jabatan (abuse de droit, detournement
de pouvoir, moral hazard), semakin menjauhkan kita dari harapan akan
hukum yang mampu mewujudkan keadilan dan kebenaran.
Keempat, hukum
semakin centang-prenang karena tidak adanya koordinasi (uncoordinated) yang
baik dan jelas (clarity) diantara penegak hukum mengenai strategi
bagaimana mengimplementasikan hukum ke dalam dinamika kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Realitas
hukum diatas, membawa kita pada pertanyaan dasar yang sederhana yakni Apa
sebenarnya masalah dalam penegakan hukum di Indonesia ?. Tidak salah, kalau
diungkapkan bahwa pertama masalahnya adalah kita tidak menemukan sosok
kepemimpinan yang baik dalam menegakkan hukum (lack of leadership).
Kepemimpinan yang tidak semata-mata memiliki kemampuan memimpin, tetapi lebih
jauh lagi sosok yang mampu memberi teladan dan contoh yang baik. Sosok pemimpin
yang tidak pragmatis, apalagi oportunis.
Kedua masalahnya
adalah tidak ada koordinasi antara lembaga dan penyelenggara hukum (lack of
coordination). Masing-masing lembaga dan penyelenggara hukum semata-mata
hanya menjalankan kewenangannya, bukankah problema hukum sangat kompleks?.
Kompleksitas problema hukum sangat membutuhkan koordinasi yang baik, agar
secara integral dapat melahirkan strategi rancang tindak dalam menemukan solusi
terhadap problema hukum tersebut.
Ketiga, hilangnya
integritas (lack of integrity). Masalah ini menyentuh ranah kepribadian
(personality). Artinya, sangat sulit mengharapkan penegakan hukum bagi
sosok individu yang sudah tercemar integritasnya. Individu yang baginya etika
dan moral adalah idealisme belaka, yang hanya merupakan angan-angan di
awang-awang dan mustahil untuk diwujudkan. Individu yang menganggap bahwa
pembicaraan moral dan etika pada ranah hukum adalah wujud keputusasaan.
Selanjutnya, keempat
masalahnya adalah tidak mampu menegakkan atau menerapkan hukum yang telah
dibuat (lack of implementation). Hal ini dapat disebabkan dua hal yakni
bisa karena hukum yang dibuat itu memang tidak dapat diterapkan (unapplicabe)
atau bisa juga karena memang individunya tidak punya komitmen untuk
menegakkannya.
Kelima, masalah
yang dihadapi adalah kita tidak punya peta reformasi hukum yang jelas (lack
of clarity in law reform), dimana semua pihak (penguasa dan masyarakat) merasa
kalau itu tidak dilakukan akan merugikan dirinya, bangsanya dan negaranya.
Karena itulah
perlu melakukan reformasi (reform) terhadap lembaga penegakan hukum.
Reformasi yang diartikan secara luas dan dimaknai dalam hati sanubari kita.
Selayaknya kita berusaha menemukan kembali (reinventing), tata nilai dan
norma hukum kita yang telah terdegradasi, sehingga mampu merespon seluk beluk
dinamika sosial yang akhirnya diharapkan mampu mendorong lahirnya budaya hukum
(legal culture) Indonesia yang bermoral, beretika dan bermartabat.
Gerakan
sosial baik parlemen maupun ekstra parlemen, eksekutif dan segenap bangsa melakukan eradikasi
korupsi dan moral hazard, agar ke depan tindakan tercela ini dapat
dieliminir. Mendorong dan mendukung munculnya lembaga-lembaga pengawas baik
internal maupun eksternal (internal/external watchdog), agar
pemerintahan dapat berjalan secara bersih, oleh karena adanya kekuatan penyeimbang
(check and balances).
Selanjutnya
kebebasan pers perlu dilindungi. Kebebasan yang bertanggung jawab tentunya. Kebebasan
pers dimana mengutamakan keakuratan informasi (validity) dan menegakkan
kode etik jurnalistik. Banyak hal lagi yang dapat dilakukan untuk meretas
problematika hukum di Indonesia, baik melalui lembaga internal penegak hukum
sendiri, maupun lembaga eksternal yang peduli terhadap tegaknya hukum di negeri
ini.
Sebagaimana
saya katakan dimuka, bahwa tidak cukup tinta untuk ditorehkan dalam mengurai
benang kusut di rimba raya hukum Indonesia. Yang harus ada di benak kita adalah
bagaimanapun rimbunnya belantara hukum itu, yakinlah sinar matahari akan mampu
menembus rimba raya itu. Jangan lontarkan pertanyaan “siapa yang salah, apa
yang salah, dan kenapa salah” kepada orang lain, tetapi hujamkan pertanyaan itu
ke dalam sanubari kita. Tidak salah kalau saya mengutip perkataan salah seorang
Da’i, AA Gym, yang dapat kita kaitkan dengan potret hukum, penegakan hukum dan
problematikanya ini. Beliau mengatakan untuk menjadi lebih baik, kita butuh 3M,
yakni Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang kecil, dan Mulai
dari sekarang. Semoga saya istiqomah!
No comments:
Post a Comment