My Philosophy

"Banyak yang kita tahu tetapi tidak pernah kita katakan, banyak yang kita katakan tetapi tidak pernah kita lakukan, Hukum butuh orang yang berani mengatakan dan berani melakukan, karena hukum bukan retorika dari siapapun." (Khaerul H. Tanjung, 2006)

Wednesday, November 21, 2012

Di Tengah Rimba Raya Hukum Indonesia

Pengalaman saya sebagai advokat baru masih seumur jagung, pengetahuan pun masih setampuk pinang. Tapi melihat realitas penegakan hukum hari ini, saya tercenung sejenak untuk berhenti sebentar melihat diri, apakah saya masih berada di jalan yang benar? Apakah saya harus mundur menyesali ketidakberdayaan diri untuk berbuat dan memberi yang lebih baik? Apakah masih ada asa yang patut diletakkan hari ini di pundak para penegak hukum di Indonesia?.
Tidak saja advokat seperti saya, polisi, jaksa bahkan seorang Hakim Agung hari-hari ini pun menjadi buah bibir kekecewaan karena kemana lagi asa hukum digantungkan di negeri ini ketika ketajaman pikiran telah mengalahkan ketajaman nurani. Sementara koruptor berkilah, narkoba berserak, dan hukum dipermainkan.
Berbicara tentang hukum, berarti berbicara banyak hal. Hal tentang hak dan kewajiban, perlindungan, keadilan, kepastian, bahkan berbicara tentang nilai, etika dan moral. Mereka yang siap berbicara tentang hukum, ibarat pelaut yang siap mengarungi bahtera di samudera luas yang tak bertepi, dimana badai sudah siap menghadang, tidak tahu apakah bahtera bisa selamat sampai ke seberang. Pemikiran dibawah ini harus dimulai dengan menghilangkan sikap a priori para akademisi terhadap realitas hukum dan kerendahan hati serta kebijaksanaan mereka yang mencari keadilan (justice) dan mendambakan tegaknya kebenaran (truth).
Potret hukum, penegakan hukum dan problematikanya di Indonesia sekarang ini menampilkan berbagai realitas negatif yang setidak-tidaknya harus diperbaiki ke depan, antara lain;
Pertama, harus disadari bahwa problematika hukum dan penegakannya di Indonesia saat ini sangat kompleks (over complicated). Hal ini mendorong kita untuk memikirkan dari mana kita harus memulai pemecahannya. Tentunya strategi itu setidaknya memperhatikan berbagai aspek, baik filosofis, yuridis dan sosiologis. Filosofis dirasa perlu, karena ternyata secara nilai (value) dan norma (norm) telah terjadi dekadensi dan degradasi terhadap perilaku hukum itu sendiri. Termasuk didalamnya etika dan moral yang membawa logika hukum masyarakat kepada keputusasaan akan adanya keadilan dan kepastian hukum. Hukum hanyalah huruf mati belaka (black letter rule), hukum kosong dengan makna. Untuk itu perlu pengkajian dan pemikiran dari para ahli agar kekosongan makna ini tidak menghantui perilaku dan logika hukum masyarakat yang sudah pesimis bahwa keadilan dan perlindungan hukum hanyalah utopia belaka. Aspek yuridis juga perlu,  karena bagaimanapun nilai dan norma yang telah ada harus dapat ditransformasikan kedalam sistem hukum (legal system). Sistem hukum yang secara responsif memberikan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakatnya. Bukan justru sebaliknya, yang secara represif memaksakan kehendaknya kepada masyarakatnya. Bahkan yang paling penting diperhatikan adalah aspek sosiologis, karena harus disadari bahwa hukum ada karena ada masyarakat (ibi societas ibi ius). Tidak seperti potret hukum yang sedang ditampilkan saat ini dimana hukum hanya ada untuk rakyat (wong cilik) tetapi hukum tidak ada bagi penguasa. Artinya, perlu mendudukkan kembali prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan prinsip tidak memihak (impartial).
Kedua, Adanya berbagai bentuk pertentangan dan kesimpangsiuran di dalam hukum (peraturan perundang-undangan-pen.) satu sama lain, yang bermuara pada sulitnya mengimplementasikan substansi hukum itu sendiri (contradictory).
Ketiga, Aparatur pelaksana yang berkewajiban untuk menegakkan hukum cenderung korup (corruption). Berbagai penyalahgunaan wewenang dan jabatan (abuse de droit, detournement de pouvoir, moral hazard), semakin menjauhkan kita dari harapan akan hukum yang mampu mewujudkan keadilan dan kebenaran.
Keempat, hukum semakin centang-prenang karena tidak adanya koordinasi (uncoordinated) yang baik dan jelas (clarity) diantara penegak hukum mengenai strategi bagaimana mengimplementasikan hukum ke dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Realitas hukum diatas, membawa kita pada pertanyaan dasar yang sederhana yakni Apa sebenarnya masalah dalam penegakan hukum di Indonesia ?. Tidak salah, kalau diungkapkan bahwa pertama masalahnya adalah kita tidak menemukan sosok kepemimpinan yang baik dalam menegakkan hukum (lack of leadership). Kepemimpinan yang tidak semata-mata memiliki kemampuan memimpin, tetapi lebih jauh lagi sosok yang mampu memberi teladan dan contoh yang baik. Sosok pemimpin yang tidak pragmatis, apalagi oportunis.
Kedua masalahnya adalah tidak ada koordinasi antara lembaga dan penyelenggara hukum (lack of coordination). Masing-masing lembaga dan penyelenggara hukum semata-mata hanya menjalankan kewenangannya, bukankah problema hukum sangat kompleks?. Kompleksitas problema hukum sangat membutuhkan koordinasi yang baik, agar secara integral dapat melahirkan strategi rancang tindak dalam menemukan solusi terhadap problema hukum tersebut.
Ketiga, hilangnya integritas (lack of integrity). Masalah ini menyentuh ranah kepribadian (personality). Artinya, sangat sulit mengharapkan penegakan hukum bagi sosok individu yang sudah tercemar integritasnya. Individu yang baginya etika dan moral adalah idealisme belaka, yang hanya merupakan angan-angan di awang-awang dan mustahil untuk diwujudkan. Individu yang menganggap bahwa pembicaraan moral dan etika pada ranah hukum adalah wujud keputusasaan.
Selanjutnya, keempat masalahnya adalah tidak mampu menegakkan atau menerapkan hukum yang telah dibuat (lack of implementation). Hal ini dapat disebabkan dua hal yakni bisa karena hukum yang dibuat itu memang tidak dapat diterapkan (unapplicabe) atau bisa juga karena memang individunya tidak punya komitmen untuk menegakkannya.
Kelima, masalah yang dihadapi adalah kita tidak punya peta reformasi hukum yang jelas (lack of clarity in law reform), dimana semua pihak (penguasa dan masyarakat) merasa kalau itu tidak dilakukan akan merugikan dirinya, bangsanya dan negaranya.
Karena itulah perlu melakukan reformasi (reform) terhadap lembaga penegakan hukum. Reformasi yang diartikan secara luas dan dimaknai dalam hati sanubari kita. Selayaknya kita berusaha menemukan kembali (reinventing), tata nilai dan norma hukum kita yang telah terdegradasi, sehingga mampu merespon seluk beluk dinamika sosial yang akhirnya diharapkan mampu mendorong lahirnya budaya hukum (legal culture) Indonesia yang bermoral, beretika dan bermartabat.
Gerakan sosial baik parlemen maupun ekstra parlemen, eksekutif  dan segenap bangsa melakukan eradikasi korupsi dan moral hazard, agar ke depan tindakan tercela ini dapat dieliminir. Mendorong dan mendukung munculnya lembaga-lembaga pengawas baik internal maupun eksternal (internal/external watchdog), agar pemerintahan dapat berjalan secara bersih, oleh karena adanya kekuatan penyeimbang (check and balances).
Selanjutnya kebebasan pers perlu dilindungi. Kebebasan yang bertanggung jawab tentunya. Kebebasan pers dimana mengutamakan keakuratan informasi (validity) dan menegakkan kode etik jurnalistik. Banyak hal lagi yang dapat dilakukan untuk meretas problematika hukum di Indonesia, baik melalui lembaga internal penegak hukum sendiri, maupun lembaga eksternal yang peduli terhadap tegaknya hukum di negeri ini.
Sebagaimana saya katakan dimuka, bahwa tidak cukup tinta untuk ditorehkan dalam mengurai benang kusut di rimba raya hukum Indonesia. Yang harus ada di benak kita adalah bagaimanapun rimbunnya belantara hukum itu, yakinlah sinar matahari akan mampu menembus rimba raya itu. Jangan lontarkan pertanyaan “siapa yang salah, apa yang salah, dan kenapa salah” kepada orang lain, tetapi hujamkan pertanyaan itu ke dalam sanubari kita. Tidak salah kalau saya mengutip perkataan salah seorang Da’i, AA Gym, yang dapat kita kaitkan dengan potret hukum, penegakan hukum dan problematikanya ini. Beliau mengatakan untuk menjadi lebih baik, kita butuh 3M, yakni Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang kecil, dan Mulai dari sekarang. Semoga saya istiqomah!

No comments: