My Philosophy

"Banyak yang kita tahu tetapi tidak pernah kita katakan, banyak yang kita katakan tetapi tidak pernah kita lakukan, Hukum butuh orang yang berani mengatakan dan berani melakukan, karena hukum bukan retorika dari siapapun." (Khaerul H. Tanjung, 2006)

Monday, January 07, 2013

Independensi Hakim Dalam Penegakan Hukum

Pengantar

Tanggal 20 dan 27 Desember 2012 lalu, saya sedang mendampingi klien selaku Terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Klien saya didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan beberapa orang karyawan dari salah satu Kontraktor Migas terkemuka di Indonesia. Saya disini tidak sedang bermaksud menceritakan tentang pembelaan saya terhadap posisi klien dimaksud, meskipun hati nurani saya hingga kini masih bertanya-tanya tentang bagaimana sesungguhnya legal reasoning Penyidik dan Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung R.I itu memutuskan untuk sampai mengajukan surat dakwaan sedemikian kepada klien saya di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sementara locus delicti perkara (quad non benar-benar terjadi) itu jelas-jelas berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru.


Lupakan hal itu, saya disini justru hendak menceritakan tentang percakapan yang umumnya terjadi di luar ruang sidang baik oleh para penasehat hukum, terdakwa, maupun pengunjung sidang disela-sela menunggu giliran sidang. Saat itu, saya berbincang-bincang dengan dua orang karyawan dari Kontraktor Migas tersebut yang juga didakwa bersama-sama telah melakukan tindak pidana korupsi dengan sang klien. Keduanya bertanya kepada saya tentang berbagai kemungkinan tanggapan hakim atas surat dakwaan JPU dimaksud.

Pada perbincangan itu saya spontan mengatakan kepada keduanya, kita harus tetap berdoa dan berusaha semaksimal mungkin pada proses hukum yang ada semoga Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini antara otaknya (pikiran) dengan hatinya (nurani) sejalan dan nyambung. Karena sudah menjadi kenyataan umum di negeri ini banyak hakim yang tidak sejalan dan nyambung antara otak dan hatinya. Sambil saya menunjuk kepala dan dada.

Keduanya hanya mengangguk, tetapi tiba-tiba seorang Bapak paruh baya berpakaian batik menghampiri kami bertiga dengan langsung bertanya “siapa yang saudara maksud dengan hakim yang tidak nyambung?”. Saya yang tidak setuju dengan cara Bapak ini langsung bereaksi “ini pembicaraan kami bertiga pak, Bapak siapa dan ada urusan apa Bapak turut campur?, dengan nada kesal. Si Bapak menjawab “saya hakim disini (Tipikor-pen), saya cuman mau bilang hakim-hakim disini bekerja menurut hukum berbeda dengan pengadilan lain, kalau saudara mau melihat bagaimana saya memutus suatu perkara silahkan datang ke rumah saya”. Saya jawab “terimakasih kalau begitu pak, saya pegang janji Bapak” sambil saya menyodorkan tangan untuk menyalaminya. Tetapi si  Bapak menolak “saya tidak perlu salaman dengan saudara, tetapi saya jamin kami bekerja sesuai dengan fakta dan hukum sepanjang terdakwa disini mengungkapkan kejujuran”. Si Bapak pergi, kami bertiga saling berpandangan dengan perasaan bercampur aduk melihat keberanian si Bapak menjelaskan dirinya dengan menyela pembicaraan kami.

Kejadian itu masih segar di ingatan saya sehingga ingin sekali pada kesempatan ini berbagi cerita dan pengetahuan tentang apa dan bagaimana seharusnya impian dan harapan para pencari keadilan terhadap bagaimana seharusnya independensi dan kemandirian seorang hakim dalam sebuah penegakan hukum ?.

Hakim Dalam Penegakan Hukum

Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), begitu bunyi Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 Amandemen Ketiga. Sepatutnya pengertian negara hukum dimaksud diartikan secara dinamis baik dalam tataran sistem hukum eropa kontinental semacam Indonesia maupun sistem hukum Anglo Saxon. Memang sebagian ahli berpendapat konsep negara hukum itu cenderung lebih dekat pada sistem kontinental karena mengusung konsep Supremacy of General Law daripada sistem Anglo Saxon yang menekankan pada asas stare decisis yang memungkinkan hakim untuk membentuk hukum (judge made law).

Namun demikian pandangan ini sudah berubah, hukum tidak lagi semata-mata difungsikan sebagai refleksi kekuasaan yang berdaulat, tetapi harus pula dipertanyakan hakekat dan substansi hukum tersebut. Karena itu menurut Hoogers dan Warmelink sebenarnya patut memfungsikan hakim sebagai deputy legislators atau pseudo legislators.

Goldstein, menerangkan setidaknya ada 3 (tiga) konsep kedudukan hakim dalam penegakan hukum (law enforcement). Pertama, dalam kerangka total enforcement concept, dimana hakim diharapkan menegakkan hukum secara menyeluruh baik norma maupun nilai yang terkandung didalamnya. Hal ini sulit dilakukan karena dalam menjalankan hukum itu sendiri terdapat kerangka due process of law sehingga terdapat pembatasan lain seperti penerapan Hukum Acara. Kedua, full enforcement concept yaitu terhadap sisi-sisi yang masih grey area hakim memberikan diskresinya atas berbagai keterbatasan substansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum. Ketiga, adalah actual enforcement concept.

Oleh karena itulah kekuasaan kehakiman itu tidak hanya mengandung pengertian otoritas hukum tetapi juga kewajiban hukum yang merupakan kekuasaan yang melekat pada hakim dan pengadilan untuk melaksanakan fungsi pemerintahan berupa mengadili dan memutus (adjudication).

Hakim Independen dan Mandiri

Ternyata hakim yang baik itu tidak hanya cukup dengan bekal tekad untuk bisa mempertahankan kemandirian (independensi), tetapi memerlukan sikap dan karakter lain yaitu akuntabilitas dan profesionalisme. Sebagaimana peristiwa percakapan saya dengan sang hakim pada bagian pengantar di atas, sesunguhnya ancaman terhadap independensi dan kemandirian hakim itu saat ini sangat nyata baik dari internal maupun eksternal.

Dari sisi internal misalnya berasal dari otoritas yang memiliki kewenangan untuk melakukan promosi, mutasi dan tindakan disiplin. Sementara dari sisi eksternal dapat berasal dari kekuasaan legislatif, eksekutif, pers, masyarakat (public pressure) maupun dari para pencari keadilan baik dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan hingga penyuapan.

Inilah yang Penulis khawatirkan terkait persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadian Negeri Jakarta Pusat, karena beredar kesan yang semakin menguat melalui media pers bahwa pengadilan ini tidak pernah membebaskan seorang Terdakwa kasus korupsi. Kekhawatiran ini sebenarnya lebih kepada kondisi dimana jangan sampai hakim menjadi tersandera untuk harus menghukum seseorang, padahal dakwaan korupsinya tidak terbukti atau setidak-tidaknya ada hukum acara yang dilanggar hanya demi mempertahankan persepsi publik tersebut.

Penutup

Ada beberapa hakim yang dikenal baik di Indonesia, tetapi agaknya penulis ingin mengambil contoh figur hakim sebagaimana dimuat dalam salah satu buku Richard A. Posner berjudul Cardozo, A Study in Reputation. Richard A. Posner sendiri adalah hakim senior pada Seventh Circuit, US Court of Appeals dan menjadi seorang dosen di University of Chicago Law School, Amerika Serikat.

Posner menggambarkan paling tidak ada 6 (enam) hal yang menonjol pada diri Hakim Senior yang bernama Benyamin Nathan Cardozo dimaksud. Pertama, Cardozo memiliki kemampuan retorika (rhetorical skill) yang baik. Tidak hanya karena gaya penulisannya melainkan karena bangunan (architecture) dari pendapatnya yang mempesona dari sisi kesusasteraan dan essay, sehingga dapat membawa hukum lebih dekat pada perasaan keadilan bagi siapa saja termasuk mereka yang bukan sarjana hukum.

Kedua, kemampuan retorika tersebut bermakna positif dari sisi pragmatis, karena pendapatnya tidak hanya bisa diterima di lingkungan peradilan melainkan oleh segenap masyarakat hukum karena bersifat realistis, anti formalism dan bersifat instrumental. Ketiga, Cardozo memiliki karya tulis yang bersifat extralegal sehingga menaikkan derajat profesionalitas hukumnya. Keempat, Cardozo manusia yang atraktif, dimana karakter menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan integritas dan sifat dapat dipercaya (trustworthiness). Karakter semacam ini penting dalam suatu reputasi juridis karena pekerjaan seorang hakim secara tak terelakkan akan banyak bertumpu pada keyakinan (inevitably take much on faith). Kelima, Cardozo mendayagunakan pandangan-pandangan hukum dari dunia akademis sebagai referensi (scholarly citations) jauh lebih banyak daripada yang dilakukan kolega-koleganya. Keenam, Cardozo tidak pernah terlibat sebagai partisan politik, namun pencalonannya selalu didukung oleh partai-partai politik yang dominan.

Tentu tidak dapat dipersamakan sosok Cardozo dengan hakim-hakim di Indonesia, tetapi saya masih yakin bahwa diantara hakim-hakim yang kita punya masih terdapat hakim yang benar-benar bekerja secara bertanggung jawab selaku wakil Tuhan dimuka bumi. Mungkin, sang Hakim yang menyela perbincangan kami salah satunya, amien.  

2 comments:

Unknown said...

Di wall fbnya bang hary izmir,https://m.facebook.com/hary.vidianto?refid=5, ada hadis yg relevan dengan artikel di atas : NASIB HAKIM DI AKHIRAT KELAK

"Hakim terdiri dari tiga golongan. Dua golongan hakim masuk neraka dan segolongan hakim lagi masuk surga. Yang masuk surga ialah yang mengetahui kebenaran hukum dan mengadili dengan hukum tersebut. Bila seorang hakim mengetahui yang haq tapi tidak mengadili dengan hukum tersebut, bahkan bertindak zalim dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Yang segolongan lagi hakim yang bodoh, yang tidak mengetahui yang haq dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, maka dia juga masuk neraka."
(HR. Abu Dawud dan Ath-Thahawi)

Muhammad Nurman said...

Hi Mr. Tanjung, Remember me? Mr. Nurman learns to tickle your fancy? Your blog is cool. And it's not bad with pr 1. Let' s go blogwalking and learn more and more of how to optimize blog. Keep in touch.