My Philosophy

"Banyak yang kita tahu tetapi tidak pernah kita katakan, banyak yang kita katakan tetapi tidak pernah kita lakukan, Hukum butuh orang yang berani mengatakan dan berani melakukan, karena hukum bukan retorika dari siapapun." (Khaerul H. Tanjung, 2006)

Wednesday, November 07, 2007

Buruh dan Pengusaha : Tidur Sama Tetapi Mimpi Berbeda

Istilah di atas sengaja saya gunakan untuk memberikan sinyalemen kontradiktif antara pengusaha dan buruh. Keduanya memiliki posisi dan peran yang strategis. Tuntutan kenaikan upah selalu menjadi tuntutan buruh, sementara itu pengusaha selalu keberatan alias tidak rela untuk menaikkan upah karena dianggap tidak sesuai dengan produktifitas lah dan berbagai alasan lain.
Logika pengusaha dan logika buruh sedari awal telah berbeda.
Pengusaha di negeri ini beranggapan pendapatan usaha tidak koheren dengan pengeluaran dalam menjalankan usaha. Sebut saja diantaranya ijin usaha lah, pajak lah, bahan baku produksi lah, sewa lahan pabrik/kantor lah, upah karyawan lah, kredit pinjaman modal usaha lah, sampai ke “biaya siluman”, yang tak jelas dasar hukumnya. Para pengamat menengarainya sebagai penyebab high-cost economy. Atas dasar itu pengusaha menjustifikasi tindakannya yang benar-benar cermat dan ketat menghitung untuk menekan pengeluarannya.
Adalah sesuatu yang lazim pula, apabila setiap manusia menginginkan kesejahteraan hidupnya terpenuhi. Hukum alamnya, orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Idealnya, tentu saja jumlah kebutuhan hidup lebih kecil dibanding yang benar-benar dihasilkan seseorang, “tidak besar pasak daripada tiang”. Alasan inilah yang memunculkan formulasi standar kebutuhan hidup pada skala minimum yang wujudnya dikenal “Upah Minimum Regional”. Namun, masalahnya adalah apakah seorang pekerja sudah cukup tenang untuk bekerja dengan standar tersebut, sehingga mereka tidak harus bingung lagi untuk mencukupi kebutuhan mereka ?. Saya kira tidak.
Namun solusi atas hubungan keduanya adalah peningkatan kesejahteraan harus dikaitkan dengan kenaikan produktifitas. Pekerja harus mampu menaikkan produktivitasnya sehingga perusahaan meraup untung yang lebih besar dan sebaliknya pekerja berhak memperoleh pembagian dari keuntungan usaha.
Tentunya, tarik ulur mengenai argumentasi kesejahteraan dan produktivitas tersebut masihlah terlalu sederhana. Masih banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Misalnya, faktor pasar. Kalau penyerapan hasil produksi dari pasar (daya beli dan perilaku membeli) menurun, otomatis penghasilan suatu usaha menurun. Demikian juga halnya mengenai laju inflasi, yang menyebabkan daya beli seorang buruh menjadi tertinggal jauh terhadap naiknya harga barang-barang kebutuhan mereka.
Maka solusi selanjutnya adalah adanya transparansi usaha. Inilah poin tuntutan kaum buruh yang dipandang oleh perusahaan sebagai sesuatu yang sulit. Alasannya karena untuk memperlihatkan neraca keuangan dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan dari para stakeholder baik mitra bisnis, penanam modal, bank, ataupun konsumen.
Oleh karena itu tanpa menyamakan mimpi tentunya harmonisasi hubungan buruh dan pengusaha rasanya sulit tercapai.

2 comments:

Anonymous said...

beda lah tidurnya rul, kalo pengusaha di kasur spring bed empuk pake AC sebelahnya ce cantik.. lah kalo buruh paling banter kasur busa malahan tiker.. mimpinya mungkin bisa sama.. sama2 dikejar setan, yg pengusaha dikejar2 setan pungli dan setoran ke pejabat sedang yang buruh dikejar2 setan utang!!

Unknown said...

Iyya juga yah...