Istilah
Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum & Konsultan Hukum
Kata advokat itu sendiri berasal dari
bahasa latin advocare, yang
berarti to defend, to call to one’s
aid, to vouch or to warrant. Sedangkan dalam bahasa Inggris Advocate, berarti to speak in favor of or defend by argument,
to support, indicate or recommend publicly, (Frans Hendra Winarta, 1995).
Sedangkan menurut UU Advokat Indonesia
Pasal 1 angka 1 menerangkan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi
jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan undan-undang ini.
Advokat
Pada Masa Pra Kemerdekaan
Profesi advokat sesungguhnya sarat
dengan idealisme. Sejak profesi ini dikenal secara universal sekitar 2000 tahun
lalu, ia sudah dijuluki sebagai “officium
nobile” artinya profesi yang mulia dan terhormat. Profesi advokat itu
mulia, karena ia mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan bukan
kepada dirinya sendiri, serta ia berkewajiban untuk turut menegakkan hak-hak
asasi manusia.
Namun, seringkali dalam kenyataan,
orang-orang yang menggeluti profesi advokat tidak dapat menjunjung tinggi
idealisme dari profesi itu sendiri. Hal itu bisa karena faktor diluar dirinya
yang begitu kuat, tetapi terkadang juga karena kurangnya penghayatan advokat
yang bersangkutan terhadap esensi profesinya.
Sejarah keadvokatan di Indonesia tumbuh
dan berkembang tidak sebagaimana yang terjadi di Eropa. Sebagaimana di tanah
jajahan lainnya, keadvokatan Indonesia memperoleh bentuk pada masa kolonial
Belanda. Maka konsekuensi logis apabila model advokat Indonesia dengan
sendirinya adalah seperti advokat Belanda.
Besarnya pengaruh kolonial terhadap
perkembangan profesi advokat terkait erat dengan perbedaan tradisi hukum anglo-saxon (common law) dan tradisi
hukum eropa kontinental (civil law).
Misalnya bagi Inggris dan Amerika dengan tradisi hukum common law memandang besarnya
jumlah advokat di tanah jajahan sebagai suatu kebaikan, sedangkan bagi
Perancis, Belanda, dan Belgia yang bertradisi hukum Eropa Kontinental (civil law) justru sebaliknya, (Daniel S. Lev,
1990).
Di Hindia Belanda (Indonesia) sampai
pertengahan tahun 1920-an, semua advokat dan notaris adalah orang Belanda. Hal
ini pula yang mempengaruhi mengapa perkembangan advokat pasca kemerdekaan
Indonesia masih berjalan lambat. Mengenai hal ini, Daniel S. Lev berpendapat
bahwa besar kecilnya jumlah advokat pribumi tergantung kepada kombinasi
ideologi pemerintahan dan kebijaksanaan ekonomi kolonialnya, (Daniel S. Lev,
1990).
Pada saat Belanda merampas daerah
pedalaman Jawa yang disusul pecahnya perang Napoleon, Belanda mendirikan
pemerintahan tidak langsung di Indonesia dengan memanfaatkan persekutuan dengan
elite priyayi Jawa. Persekutuan ini meletakkan kaum elit Jawa seolah-olah masih
tetap berkuasa, sedangkan Belanda dapat mengeksploitasi kekayaan ini seperti
perkebunan hingga seperempat abad kesembilan belas.
Namun terjadi perubahan pada pertengahan
abad kesembilan belas, Belanda mengubah kebijaksaan kolonialnya dengan lebih
legalitas. Dimulai pada akhir tahun 1840-an, beberapa kitab undang-undang baru
diundangkan, organisasi dan kebijaksanaan kehakiman dikembangkan dan dibenahi,
serta pemerintahan dirasionalisasi dengan hukum dan peraturan yang cocok.
Dengan demikian rechtsstaat diperkenalkan
di tanah jajahan, meskipun hanya berorientasi pada kepentingan kolonial,
(Daniel S. Lev, 1990).
Pada permulaan abad keduapuluh
pemerintah kolonial menganut kebijaksanaan etis, yang bertujuan menciptakan
kesejahteraan dan kemajuan sosial golongan pribumi. Kebijakan ini gagal karena
pemerintah kolonial lebih mendorong terciptanya ketertiban daripada membangun
kepercayaan kemampuan sendiri bagi golongan pribumi.
Sistem peradilan Hindia Belanda terbagi
dalam empat jenis peradilan yang berlainan. Pertama,
pengadilan pemerintah untuk orang Eropa meliputi pengadilan tingkat pertama residentiegerecht yang menjadi wewenang
residen Belanda; pengadilan banding raad
van justitie di ibukota dan pengadilan tertinggi, hoogerechtshof. Kedua,
pengadilan pemerintah untuk orang bukan berupa, pengadilan agama Islam, dan
pengadilan adat.
Pengadilan pemerintah bagi orang
Indonesia juga memiliki tiga tingkatan yakni districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraad. Landraad inilah
yang menjadi cikal bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada tahun 1938, putusan landraad dapat dibanding pada raad van justitie Sebagian besar hakim landraad adalah orang Belanda, namun
sejak 1920-an dan 1930-an beberapa orang ahli hukum Indonesia berpendidikan
hukum diangkat sebagai hakim. Pengadilan Indonesia menggunakan KUH Pidana
dengan hukum acara yang dikenal Herziene Inlandsche
Reglement (HIR), (Daniel S. Lev, 1990).
Pemerintah kolonial tidak mendorong
orang-orang Indonesia untuk bekerja sebagai advokat. Pada 1909 pemerintah
kolonial mendirikan Rechtsschool di
Batavia dan membuka kesempatan pendidikan hukum bagi orang pribumi hingga tahun
1922, namun kesempatan hanya dimanfaatkan kaum priyayi. Pada tahun 1928, Rechtsschool meluluskan hampir 150
orang rechtskundigen (sarjana
hukum). Namun mereka ini hanya menjadi panitera, jaksa dan hakim tidak sebagai
notaris dan advokat.
Hingga pada tahun 1940 terdapat hampir
tiga ratus orang Indonesia asli menjadi ahli hukum sampai pada pendudukan
Jepang. Para advokat Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda sebagai
advokat. Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum
di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi advokat sepulang ke
Indonesia.
Salah seorang tokoh yang mendorong
perkembangan advokat Indonesia adalah Mr. Besar Martokusumo. Pada saat itu
tidak satupun kantor advokat yang besar kecuali kantor Mr. Besar di Tegal dan
Semarang, dan kantor advokat Mr. Iskak di Batavia. Bagi advokat Indonesia asli
memulai praktik adalah langkah yang sulit. Hal ini terjadi karena advokat
Belanda menganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan.
Perkembangan sistem hukum pemerintahan
kolonial telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan advokat
pribumi pada masa itu. Seiring dengan itu semangat nasionalisme para advokat
Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan menjadikan para advokat Indonesia
terlibat aktif pada berbagai organisasi pergerakan.
Dapat dikemukan berbagai pengaturan
profesi advokat pada masa pra kemerdekaan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Staatblad
Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57 tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en
het beleid de justitie in Indonesie atau dikenal dengan RO, pada Pasal 185
s/d 192 mengatur tentang “advocatenen
procureurs” yaitu penasehat hukum yang bergelar sarjana hukum.
b. Staatblad
Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op
de Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad van Justitie) ditentukan bahwa para
pihak harus diwakili oleh seorang advokat atau procureur.
c. Penetapan
Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang Peraturan Cara Melakukan
Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan
bahwa orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum
kepadanya sebelum permulaan pemeriksaan.
d. Staatblad
Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang Memberikan Bantuan Hukum,
ditentukan bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum
atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh
diperintah memberi bantuan.
e. Staatblad
Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van
de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de
landraden, mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’ atau pada masa tersebut
dikenal dengan “pokrol”.
f. Staatblad
Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene
Inlandsch Reglement (HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika
seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum
dengan hukuman mati, maka magistraat hendak menanyakan kepadanya, maukah ia
dibantu di pengadilanoleh seorang penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan
bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh
pembela untuk mempertahankan dirinya.
g.
Staatblad
Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene
Inlandsch Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui),
menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara untuk diwakili oleh
orang lain.
Berbagai ketentuan hukum diatas
mendasari profesi advokat pada masa pra kemerdekaan, meski masih mengutamakan
advokat Belanda. Akan tetapi berbagai pengaturan itu sedikitnya telah mendasari
perkembangan advokat Indonesia pada masa selanjutnya.
Advokat
Sejak Masa Kemerdekaan
Perkembangan pengaturan profesi advokat
di Indonesia dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial
Jepang tidak melakukan perubahan yang berarti mengenai profesi ini. Hal ini
terbukti pada UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetboek van strafrecht voor Nederlands Indie tetapi digunakan
istilah KUH Pidana. UU ini memuat pengaturan tentang kedudukan advokat dan
procureur dan orang-orang yang memberikan bantuan hukum.
Pengaturan profesi advokat secara
sporadis tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan termasuk
didalamnya ketentuan pada masa kolonial Belanda. Bahkan pengaturan profesi
advokat sejak proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal
ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah advokat atau istilah lain
yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS 1949 yang
digantikan dengan UUDS 1950.
Sehingga ironi dalam pembangunan hukum
di Indonesia, tidak mengatur secara khusus profesi advokat sebagaimana profesi
hukum lainnya, padahal profesi ini sebagai salah satu unsur penegak hukum.
Akibatnya menimbulkan berbagai keprihatinan dan kesimpangsiuran menyangkut
profesi tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa hukum (authority of law) dan supremasi hukum (supremacy of law), maka profesi hukum ini juga terbawa arus
kemerosotan.
Meskipun demikian secara implisit,
terdapat beberapa ketentuan yang mengisyaratkan pengakuan terhadap profesi ini,
antara lain sebagai berikut :
a. UU
Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan Madura, dalam
Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau wakil dalam arti orang yang
diberi kuasa untuk itu yaitu pembela atau penasehat hukum.
b. UU
Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42 memberikan istilah
pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.
c. UU
Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Penyelenggaraan Kekuasaan
dan Acara Pengadilan sipil, memuat ketentuan tentang bantuan hukum bagi
tersangka atapun terdakwa.
d. UU
Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti
dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa setiap orang yang tersangkut
perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
e. UU
Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti dengan UU Nomor 14 Tahun
1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat hukum adalah mereka yang melakukan kegiatan
memberikan nasehat hukum yang berhubungan suatu proses di muka pengadilan.
f. UU
Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan 69 s/d 74 mengatur
hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukum dan tata cara
penasehat hukum berhubungan dengan tersangka dan terdakwa.
g. UU
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengakui keberadaan penasehat hukum
dalam memberi bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa.
h. Surat
Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, dan
sebagainya.
Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU Nomor 14
Tahun 1970, telah mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi advokat dalam UU
tersendiri. Namun hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah hingga akhirnya
tuntutan pengaturan tersebut semakin besar di kalangan organisasi advokat.
Setelah 33 tahun, barulah perjuangan itu berhasil melalui UU Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat.
Berbagai argumentasi yang
melatarbelakangi lambatnya respon pemerintah terhadap pengaturan profesi
advokat ini. Diantaranya terkait dengan tipe kepemimpinan pemerintahan pada
masa itu. Misalnya pemerintahan Bung Karno pada masa orde lama, pernah berkata
kepada Mr. Sartono yang menjadi pembelanya di landraad Bandung 1930, berikut
petikannya :
“Mr. Sartono, aku pujikan segala
usaha-usaha kamu, para advokat selalu berpegang teguh kepada UU. Mereka lebih
kuat menganut cara menembus UU, suatu revolusi menolak UU yang berlaku hari ini
dan maju diatas basis meninggalkan UU itu. Karena sulit untuk melancarkan suatu
revolusi beserta kaum advokat dan pengacara. Adalah juga sulit untuk membangun
pertahanan suatu revolusi dengan para advokat dan pengacara. Yang kami harapkan
adalah luapan semangat peri kemanusiaan. Inilah yang akan kukerjakan”.
Demikian pula pada pemerintahan orde
baru, campur tangan pemerintah dalam pembentukan dan perpecahan organisasi advokat
telah menyebabkan tingkah laku, praktek dan sepak terjang pada advokat menjadi
tidak terkontrol lagi oleh organisasi profesi yang seharusnya ketat
memberlakukan Kode Etik Profesi Advokat dan mengawasi praktek profesi advokat.
Sejak lahirnya UU Advokat, profesi
advokat mendapat pengakuan sehingga setara dengan penegak hukum lainnya dalam
prakteknya. Pengaturan ini juga berimplikasi pada rekturtmen advokat secara
sistematis sehingga diharapkan para advokat nantinya dapat melaksanakan amanat
profesi ini sebagai profesi yang mulia (officium
nobile).
No comments:
Post a Comment