Istilah
Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum & Konsultan Hukum
TEORI & PRAKTEK HUKUM
Ekspresi Terhadap Pemahaman Hukum dan Masyarakat
My Philosophy
"Banyak yang kita tahu tetapi tidak pernah kita katakan, banyak yang kita katakan tetapi tidak pernah kita lakukan, Hukum butuh orang yang berani mengatakan dan berani melakukan, karena hukum bukan retorika dari siapapun." (Khaerul H. Tanjung, 2006)
Tuesday, October 09, 2018
Wednesday, September 14, 2016
Menghitung Diri : Orang Hukum Harus Beriman & Berilmu
Orang hukum adalah saya. Saya
sudah belajar hukum sampai jenjang strata II, sekira 2 tahun menjadi asisten
dosen di Fakultas Hukum kemudian hampir 9 tahun menjalani praktek sebagai
Advokat di salah satu firma hukum di Jakarta. Pun saat ini hampir 3 tahun bekerja
sebagai in-house counsel di perusahaan telekomunikasi di
departemen hukum. Awam menyebut saya ini adalah orang hukum. Tanpa akhiran -an,
tentunya.
Namun apapun ilmu dan pengalaman
hukum yang sekarang saya geluti, selalu saja hati saya cenderung lebih mencari
ilmu-ilmu dan kajian keislaman (Alhamdulillah...). Ini bukan karena ikut-ikutan
kaum kekinian dengan share-share isi kitab dari mbah google atau media sosial lain yang nggak tahu apakah tautannya
benar atau tidak atau penerapannya sesuai konteks atau tidak, melainkan karena
kalimat awal tulisan ini, "Orang
hukum adalah saya" sehingga “saya
harus beriman dan berilmu”.
Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah
menuturkan "hasil usaha jiwa dan qalbu yang terbaik dan penyebab
seorang hamba mendapatkan ketinggian (derajat mulia) di dunia dan akhirat
adalah ilmu dan iman". Landasan Imam
Ibnu Al-Qayyim menyebut 2 (dua) frase Ilmu dan Iman ini
sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS. Ar-Rum/30:56 yang terjemahannya
berbunyi "Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan
keimanan (kepada orang-orang yang kafir) : "sesungguhnya kamu telah
berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit, maka
inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak
meyakini(nya)". Bahkan sering pula dijadikan rujukan terkait Ilmu
dan Iman
ini adalah QS. Al-Mujadilah/58:11 yang terjemahan bagian akhir ayat
berbunyi "....niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
[Sambil menunggu macet sebelum pulang ke rumah, saya melanjutkan
perenungan saya atas kedua frase ini dan
menuliskannya di blog ini karena jujur sudah lama meninggalkan kebiasaan
menulis ini, alasan klasik…]
Setiap hari saya bertemu
orang-orang cerdas berilmu bahkan secara kasat mata rajin pula ibadah, kagum
pastinya dan batin saya menduga sudah tentu orang-orang inipun memiliki
keimanan. Menduduki jabatan, memiliki banyak bawahan, dan keahlian yang memukau
adalah mungkin ini buah dari janji Allah bagi mereka karena berilmu dan
beriman. Itulah asumsi dalam benak saya, yang selalu mendorong saya untuk
berusaha keras pula menjadi orang hukum yang beriman dan berilmu.
Ternyata dalam beberapa literatur
yang barusan saya baca dan pelajari, agaknya saya perlu berhati-hati dalam
memahami hal ini. Karena kebanyakan manusia saat ini telah keliru dalam
memahami hakekat llmu
dan Iman ini, sehingga
setiap kelompok menganggap Ilmu dan Iman yang
dimilikinya satu-satunya hal yang dapat mengantarkan kepada kebahagiaan.
Padahal tidak demikian, karena sesungguhnya kebanyakan mereka tidak
memiliki Iman yang
menyelamatkan dan tidak pula memiliki Ilmu yang
mengangkat pada ketinggian derajat, bahkan mereka telah menutup untuk diri
mereka sendiri jalan Ilmu dan Iman. Apakah itu
?, Ilmu dan Iman yang diajarkan
oleh Rasulullah Muhammad SAW dan Para Sahabatnya serta orang-orang sesudahnya
yang mengikuti mereka di atas manhaj dan petunjuk mereka.
Demikian pula apabila diperhatikan pemahaman kaum muslimin sendiri
tentang Iman, maka kerap ditemukan banyak kekeliruan dan
penyimpangan. Sebagai contoh, acapkali di kalangan kaum muslimin ketika berbuat
dosa menyatakan "...yang penting kan hatinya...". Inilah
maksud saya diawal yang membutuhkan pelurusan dan pencerahan bagaimana
sesungguhnya konsep iman yang benar tersebut.
IMAN NAIK TURUN
Banyak dalil dari nash-nash
Al-Quran dan Sunnah menerangkan naik turunnya Iman ini. Adapula pengelompokkan beberapa
tingkatan pemilik Iman ini
dengan penyebutan as-Sabiq bil khairat, al-Muqtashid dan zhalim
linafsihi. Selain itu, pengelompokkan yang banyak dikenal sering
dibedakan dengan sebutan al-Muhsin, al-Mukmin dan al-Muslim.
Pokok utamanya adalah membuktikan mereka pemilik Iman ini
tidak berada dalam satu martabat atau derajat. Dengan kata lain, Iman bisa naik
turun. Demikian pula dengan saya, kecuali keimanan dalam kalimat syahadatain,
saya jelas seringkali mengalami dinamika keimanan ini.
Al-Quran telah menggambarkan
secara konkrit bagaimana iman yang dapat naik dalam QS. Ali-Imran/3:173 yang
terjemahanya berbunyi “(Yaitu)
orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka, ada orang-orang
yang mengatakan : “sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab : “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan
Allah adalah sebaik-baik Pelindung”.
Bahkan bagi mereka yang sudah
beriman dan mendapat petunjuk sekalipun, Allah masih akan menambah
petunjuk-Nya, lihat saja QS. Maryam/19:76 yang terjemahannya berbunyi “Dan Allah akan menambah petunjuk kepada
mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal shaleh yang kekal itu lebih
baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya”.
Ringkasnya, Iman itu adalah perkataan
lisan, qalbu dan anggota tubuh sebagaimana bunyi hadits yang diriwayatkan Imam
Syairozi dari Aisyah ra. “Qaala
rasulullaahi shalallaahu ‘alaihi wassalam: al iimanu billahi al iqraaru
billisani watashdiiqun bil qalbi wa’amalun bil arkaani”. Bila diartikan
kira-kira begini, “Bersabda Rasulullah
SAW : Iman terhadap Allah itu ialah diikrarkan dengan lisan, dan dibenarkan dengan
hati, diamalkan dengan anggota badan”.
Lantas, bagaimana mengetahui
gambaran orang-orang yang beriman itu?, hal inipun secara lugas dan ringkas
dijelaskan dalam QS. Al-Anfal/8:2 untuk menjadi panduan kita yang terjemahannya
berbunyi sebagai berikut “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”.
Serasa langsung terjawab
kegundahan saya, bagaimana pula saya atau mereka yang telah beriman melakukan
perbuatan dosa dan maksiat, dimanakah posisi Iman pada saat itu ?. Ternyata
Rasulullah SAW pernah bersabda : “Tidaklah
seorang pezina berzina dalam keadaan mukmin dan tidaklah peminum minuman keras
ketika minumnya dalam keadaan mukmin serta tidaklah mencuri ketika mencuri
dalam keadaan mukmin”. Banyaknya cabang-cabang Iman ini dijelaskan dalam
berbagai hadis dimana yang paling utama adalah ucapan Laa Ilaha Illallah dan yang terendah adalah membersihkan gangguan
dari jalanan. Diantara hal lain lagi, rasa malu pun merupakan salah satu cabang
dari Iman.
TAHU SEBAB NAIK TURUNNYA IMAN
Dalam salah satu materi Ustadz
Kholid Syamhudi, Lc, beliau menerangkan pandangan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di
rahimahullah yang pada intinya menyatakan “Di
antara sebab dan faktor pendorong keimanan adalah tafakur kepada alam semesta
berupa penciptaan langit dan bumi serta makshluk-makhluk penghuninya dan
meneliti diri manusia itu sendiri beserta sifat-sifat yang dimiliki. Ini semua
adalah faktor pendorong yang kuat bagi iman”.
Setelah meresapi nash-nash
Al-Quran dan Sunnah di atas, saya kira perlu kalimat ringkas untuk tahu sebab
naiknya Iman dan sebaliknya turunnya Iman, tujuannya semata
agar menjadi orang hukum yang beriman dan berilmu. Cara praktis menaikkan Iman adalah :
- Belajar ilmu yang manfaat yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah.
- Merenungi ayat-ayat kauniyah Allah SWT, sebagaimana pandangan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah di atas.
- Berusaha bersungguh-sungguh melaksanakan amalan shaleh dengan ikhlas dan mutaba’ah (mencontoh Rasulullah SAW), memperbanyak dan melaksanakannya secara rutin.
Sebaliknya, baik pula tahu
penyebab turunnya Iman agar dapat dihindari baik dari faktor internal maupun dari
faktor eksternal, diantaranya :
- Hindari kebodohan karena inilah sebab terbesar berkurangnya Iman.
- Jangan lalai dan berpaling dari kebenaran serta lupa.
- Jauhi perbuatan maksiat dan dosa.
- Pahami dan selalu ingat syaithan adalah musuh abadi manusia.
- Jangan terlalu menyibukkan diri dalam perkara dunia dan fitnahnya.
- Bergaullah dengan orang-orang baik dan shaleh.
Tantangan saya dan mungkin kita adalah
mengendalikan nafsu yang dititipkan Allah SWT dan selalu memohon rahmat Allah SWT serta segera
bertaubat. Karena itu Allah SWT telah menegaskan dalam QS. Yusuf/12:53 yang
berbunyi “Dan aku tidak membebaskan
diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi Rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Orang hukum adalah saya. Saya
masih dalam usaha untuk menjadi orang hukum yang beriman dan berilmu. Wallahu a’lam.
Monday, January 07, 2013
Independensi Hakim Dalam Penegakan Hukum
Pengantar
Tanggal 20 dan 27 Desember 2012 lalu, saya
sedang mendampingi klien selaku Terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Klien saya didakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi secara bersama-sama dengan beberapa orang karyawan dari salah
satu Kontraktor Migas terkemuka di Indonesia. Saya disini tidak sedang bermaksud
menceritakan tentang pembelaan saya terhadap posisi klien dimaksud, meskipun
hati nurani saya hingga kini masih bertanya-tanya tentang bagaimana sesungguhnya
legal reasoning Penyidik dan Penuntut
Umum dari Kejaksaan Agung R.I itu memutuskan untuk sampai mengajukan surat
dakwaan sedemikian kepada klien saya di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, sementara locus delicti perkara
(quad non benar-benar terjadi) itu
jelas-jelas berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Wednesday, November 21, 2012
Di Tengah Rimba Raya Hukum Indonesia
Pengalaman saya sebagai advokat
baru masih seumur jagung, pengetahuan pun masih setampuk pinang. Tapi melihat
realitas penegakan hukum hari ini, saya tercenung sejenak untuk berhenti
sebentar melihat diri, apakah saya masih berada di jalan yang benar? Apakah saya
harus mundur menyesali ketidakberdayaan diri untuk berbuat dan memberi yang
lebih baik? Apakah masih ada asa yang patut diletakkan hari ini di pundak para
penegak hukum di Indonesia?.
Friday, September 16, 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)